BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan industri keuangan syariah yang
meliputi perbankan, asuransi dan pasar modal pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah yang sangat panjang. Lahirnya
Agama Islam sekitar 15 (lima belas) abad yang lalu meletakkan dasar penerapan
prinsip syariah dalam industri keuangan, karena di dalam Islam dikenal kaedah
muamalah yang merupakan kaedah hukum atas hubungan antara manusia yang di dalamnya
termasuk hubungan perdagangan dalam arti yang luas. Namun demikian,
perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami masa surut selama kurun waktu
yang relatif lama pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa tersebut
negara-negara di Timur Tengah serta negara-negara Islam lain hampir semuanya
menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa.
Lembaga keuangan baik yang merupakan bank ataupun non bank mempunyai
peran yang cukup penting diera globalisasi seperti sekarang. Keduanya berperan
sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara
efektif dan efesien ke arah perkembangan perekonomian rakyat.
Pada dasarnya lembaga keuangan berfungsi mentransfer dana-dana (loanable
funds) dari penabung kepada peminjam (borrowers). Dana tersebut dialokasikan
dengan negoisasi antara pemilik dana dengan pemakai dana melalui pasar uang dan
pasar modal.[1] Seperti halnya
bank, lembaga keuangan non bank menghimpun dana dari masyarakat. Bedanya jika
bank menghimpun dana secara langsung berupa simpanan dana masyarakat, sedangkan
non bank penghimpun dana secara tidak langsung dari masyarakat, tapi melalui
kertas berharga yang diperjualbelikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Industri Pasar Modal
Dalam arti sempit pengertian pasar merupakan tempat para penjual dan
pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan penjual langsung
bertemu untuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu. Lokasi atau
tempat pertemuan tersebut disebut pasar. Namun dalam arti luas pengertian pasar
merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan penjual, dimana pembeli
dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat atau bertemu langsung, akan
tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi yang ada seperti sarana
elektronika.
Pengertian pasar modal secara umum merupakan suatu tempat bertemunya para
penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal.
Penjual (emiten) dalam pasar modal merupakan perusahaan yang membutuhkan modal,
sehingga mereka berusaha untuk menjual efek di pasar modal. Sedangkan pembeli
(investor) adalah pihak yang ingin membeli efek dari perusahaan yang
menurut mereka menguntungkan. Pasar modal dikenal dengan nama bursa efek, dan
di Indonesia dewasa ini ada dua buah bursa efek yaitu Bursa Fek Jakarta (BEJ)
dan Bursa Efek Surabaya (BES).[2]
Dalam undang-undang pasal modal no. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan
sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek,
perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga
dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Secara sederhana pasar modal diartikan sebagai pasar untuk berbagai
instrument keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam
bentuk utang maupun modal sendiri.[3]
Ø Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia
Sejarah singkat mengenai pasar modal yang berprinsip syariah dimulai dari
pemikiran untuk mendirikan pasar modal syariah dimulai sejak munculnya
instrument pasar modal yang menggunakan prinsip syariah yaitu reksadana syariah
pada tahun 1997 dan karena pada saat diterbitkannya reksadana syariah demikian
juga indeks syariah atau Jakarta Islamic Indeks (JII) maka beberapa praktisi
akademisi dan ulama’ melakukan usaha untuk mendirikan pasar modal bagi
pengusaha-pengusaha muslim atau perusahaan-perusahaan yang operasinya sesuai
dengan prinsip syariah.
Akhirnya pada tanggal
14 maret 2003 pasar modal syariah diresmikan oleh Menkeu Budiono didampingi
ketua BAPEPAM Herwi Dayatmo, wakil dari MUI, wakil dari DSN, direksi perusahaan
efek, pengurus organisasi pelaku dan asosiasi profesi di pasar modal Indonesia.[4]
B. Fungsi Pasar Modal Syariah
Adapun fungsi dari keberadaan pasar modal syariah menurut MM. Metwally
adalah sebagai berikut:
1.
memungkinkan bagi
masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan menperoleh bagian dari
keuntungan dan resikonya.
2.
memungkinkan para
pemegang saham menjual sahamnya guna mendapatkan likuiditas.
3.
memungkinkan
perusahaan meningkatkan modal dari luar untuk membangun dan mengembangkan lini
produksinya.
4.
memisahkan operasi
kegiatan bisnis dari fluktuasi jangka pendek pada harga saham yang merupakan
ciri umum pada pasar modal konvensional.
5.
memungkinkan inventasi
pada ekonomi itu ditentukan oleh kinerja kegiatan bisnis sebagaimana tercermin
pada harga saham.[5]
C. Karakter Pasar Modal Syariah
1.
Semua
saham harus diperjualblikan pada bursa efek.
2.
Bursa
perlu dipersiapkan pasca perdagangan dimana saham dapat diperjualbelikan
melalui pialang.
3.
Semua
perusahaan yang mempunyai saham yang dapat diperjualblikan pada bursa efek
diminta menyampaikan informasi tentang perhitungan (account) keuntungan dan
kerigian, serta neraca keuntungan kepada komite manajemen bursa efek, dengan
jarak tidak lebih dari 3 bulan.
4.
Komite
manajemen menerapkan harga saham tertinggi (HST) tiap-tiap perusahaan dengan
interval tidak lebih dari 3 bulan.
5.
Saham
tidak boleh diperdagangkan dengan harga lebih tinggi dari HST.
6.
Saham
dapat dijual dengan harga dibawah HST.
7.
HST
ditetapkan dengan rumus seperti berikut:
HST =
|
Jumlah Kekayaan bersih perusahaan
|
Jumlah saham yang diterbitkan
|
8.
Komite manajemen harus
memastikan bahwa semua perusahaan yang terlibat dalam bursa efek itu mengikuti
praktek standar akuntansi syariah.
9.
Perdagangan
saham mestinya hanya berlangsung dalam satu minggu, periode perdagangan,
setelah menentukan HST
10.
Perusahaan
hanya dapat menerbitkan saham baru dalam periode perdagangan dan dengan harga
HST.
D. Instrumen Pasar Modal Syariah
1) Saham
Syariah
Menurut Dewan Syariah Nasioanal (DSN), saham adalah suatu bukti kepemilikan
atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria syariah dan tidak termasuk saham
yang memiliki hak-hak istimewa.
Prinsip Dasar Saham
Syariah
a)
Bersifat musyarakah
jika ditawarkan secara terbatas.
b)
Bersifat mudharabah
jika ditawarkan kepada publik.
c)
Tidak boleh ada
pembeda jenis saham, karena risiko harus ditanggung oleh semua pihak.
d)
Prinsip bagi hasil
laba-rugi.
e)
Tidak dapat dicairkan
kecuali dilikuidasi.
2) Obligasi
Syariah
Menurut Fatwah (DSN MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang
Obligasi Syariah dan fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah. obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi
syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan pada pemegang obligasi
syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh
tempo.[7]
3) Reksadana
Syariah
Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi. Sedangkan reksadana syariah adalah reksadana yang beroperesi
menurut ketentuan dalam prinsip syariah, baik dalam bentuk akad, pengelolaan
dana dan penggunaan dana. Akad antara investor dengan lembaga hendaknya
dilakukan dengan sistem mudharabah.[8]
E. Perbedaan Pasar Modal
Konvensional dan Syariah
Perbedaan
:
a)
Indeks konvensional :
memasukkan seluruh saham yang tercatat dibursa dengan mengabaikan aspek halal
haram, yang penting saham emiten yang terdaftar sudah sesuai dengan aturan yang
berlaku.
b)
Indeks islam : indeks
yang berdasarkan syari’at islam, saham-saham yang masuk dalam indeks syariah
adalah emiten yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah.[9]
1.
Instrumen
a)
Konvensional : saham,
obligasi, instrument opsi, right, waran dan reksadana.
b)
Syariah : saham
syariah, obligasi syariah, reksadana syariah.
2.
Mekanisme Transaksi.
Secara umum dijelaskan bahwa dalam konteks pasar modal syariah menurut
alhabshi ialah idealnya tidak mengandung unsur Ribawi, transaksi, pasar modal
syariah harus beretika, jauh dari sifat amoral seperti manipulasi pasar,
transaksi yang memanfaatkan orang dalam.[10]
F. Prinsip-prinsip Pasar Modal Syariah
Prinsip-prinsip Islam dalam muamalah yang harus diperhatikan oleh pelaku
investasi syariah (pihak terkait) adalah:[11]
1.
Tidak mencari rizki
pada hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya, serta
tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram.
2.
Tidak mendzalimi dan
tidak didzalimi.
3.
Keadilan
pendistribusian kemakmuran.
4.
Transaksi dilakukan
atas dasar ridha sama ridha.
5.
Tidak ada unsur riba,
maysir dan gharar (ketidakjelasan).
Berdasarkan keterangan di atas, kegiatan di pasar modal mengacu pada hukum
syariat yang berlaku. Adapun Prinsip Pasar Modal Syariah adalah:[12]
a.
Instrumen atau efek
yang diperjualbelikan harus sejalan dengan prinsip syariah yang terbebas dari
unsur riba dan gharar (ketidakpastian).
b.
Emiten yang
mengeluarkan efek syariah baik berupa saham ataupun sukuk harus mentaati semua
aturan syariah.
c.
Semua
efek harus berbasis pada harta atau transaksi riil, bukan mengharapkan
keuntungan dari kontrak utang piutang.
d.
Semua
transaksi tidak mengandung gharar atau spekulasi
Perputaran modal pada kegiatan pasar modal syariah
tidak boleh disalurkan kepada jenis industri yang melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Pembelian saham pabrik
minuman keras, pembangunan penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang
bertentangan dengan syariah berarti diharamkan.Semua transaksi yang terjadi di
bursa efek harus atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur pemaksaan, tidak
ada pihak yang didzalimi atau mendzalimi.
G. Spekulasi
Kegiatan spekulasi tidak berbeda dengan kegiatan mengambil resiko (risk
taking action) yang biasa dilakukan oleh pelaku bisnis atau investor. Ada yang membedakan spekulan dengan pelaku bisnis
(investor) dari derajat ketidakpastian yang dihadapinya. Spekulan berani menghadapi
sesuatu yang derajat ketidakpastian tinggi tanpa perhitungan, sedangkan pelaku
bisnis (investor) senantiasa menghitung-hitung risiko dengan return yang
diterimanya.
H. Penawaran Umum
Penawaran umum atau go public adalah
kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang
dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual
saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU
Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. Penawaran umum meliputi kegiatan-kegiatan
sebagai berikut :[13]
1)
periode pasar perdana
yaitu ketika efek ditawarkan kepada pemodal oleh penjamin emisi melalui para
Agen Penjual yang ditunjuk.
2)
Penjatahan saham yaitu
pengalokasian efek pesanan para pemodal sesuai dengan jumlah efek yang
tersedia.
3)
Pencatatan efek
dibursa yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan dubursa.
Adapun tahapan-tahapan
dalam penawaran umum adalah:
1)
sebelum emisi, yaitu
berisi persiapan-persiapan yang dilakukan untuk memenuhi persyaratan penawaran
umum.
2)
tahapan emisi, yaitu
masa dimana dilakukan penawaran umum hingga saham-saham yang telah ditawarkan
dicatat dibursa Efek.
3)
tahapan sesudah emisi,
yaitu berupa tahapan pelaporan sebagai konsekuensi atas penawaran umum
tersebut.
I. Gambaran Umum Pasar Modal
Syariah di Indonesia
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) meluncurkan prinsip
pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan ditandatanganinya
nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI), maka dalam perjalanannya perkembangan dan pertumbuhan
transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Harus dipahami
bahwa ditengah maraknya pertumbuhan kegiatan ekonomi syariah secara umum di
Indonesia, perkembangan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia
masih dianggap belum mengalami kemajuan yang cukup signifikan, meskipun
kegiatan investasi syariah tersebut telah dimulai dan diperkenalkan sejak
pertengahan tahun 1997 melalui instrumen reksa dana syariah serta sejumlah
fatwa DSN-MUI berkaitan dengan kegiatan investasi syariah di pasar modal
Indonesia.
Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, Indonesia terlihat
begitu tertinggal jauh dalam mengembangkan kegiatan investasi syariah di pasar
modal. Malaysia pertama kali mengembangkan kegiatan pasar modal syariah sejak
awal tahun 1990 dan saat ini terus mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sebagai
contoh, data menunjukkan hingga akhir tahun 2004 total Nilai Aktiva Bersih
(NAB) Reksa Dana Syariah mencapai 7,7% (tujuh koma tujuh
perseratus) dari total NAB industri Reksa Dana di Malaysia,
sedangkan Indonesia baru mencapai 0,51% (nol koma lima puluh
satu per seratus) dari total NAB industri reksa dana.[14]
Walupun perbandingan antara PMS di Indnesia dirasa masih tertinggal,
setidaknya pemerintah Indonesia telahberupaya semaksimal mungkin untuk
pengembangan PMS. sebagai gambaran setidaknya terdapat beberapa perkembangan
dan kemajuan pasar modal syariah yang patut dicatat diantaranya adalah telah
diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa
dimaksud adalah :
1)
No.05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Saham
2)
No.20/DSN-MUI/IX/2000
tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah
3)
No.32/DSN-MUI/IX/2002
tentang Obligasi Syariah;
4)
No.33/DSN-MUI/IX/2002
tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5)
No.40/DSN-MUI/IX/2003
tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar
Modal;
6)
No.41/DSN-MUI/III/2004
tentang Obligasi Syariah Ijarah.
BAB III
KESIMPULAN
Tidak dipungkiri, dengan melihat perkembangan industri pasar modal syariah
yang masih baru, masih sangat dimungkinkan jika pengaruh cara pandang ekonomi
konvensional masih sangat terasa. Namun, hal ini tidak seharusnya menjadikan
umat dan pelaku pasar muslim bersikap tidak kritis untuk menilai ulang realita
yang ada. Sesungguhnya, inilah yang merupakan tantangan bagi konsep dan sistem
ekonomi Islam untuk dapat membuktikan diri mampu menjadi sistem altenatif
ekonomi umat.
Sementara tantangan dan ganjalan yang dihadapi dalam investasi syariah
adalah konsep bagi hasil yang tidak mampu memberikan patokan tingkat
penghasilan yang pasti. Pihak pengelola dana akan menjadi ukuran sekaligus
berdampak pada hasil yang bisa diperoleh investor. Disadari bahwa instrumen
investasi syariah masih terbatas, sehingga kemampuan pengelola dana dalam
mengatur portofolionya juga harus pandai. Oleh karena itu, investasi syariah
mempunyai risiko yang lebih tinggi.
Hal yang sama juga dialami dalam produk perbankan
syariah. Dalam produk perbankan syariah, juga didasarkan pada konsep bagi hasil
sehingga patokan tingkat penghasilan juga tidak pasti, tergantung pada hasil
keuntungan yang dicapai. Kemampuan pengelola atau profesionalisme yang terlibat
di dalamnya akan sangat menentukan kinerja perbankan syariah.
Terlepas apapun polemik tentang Investasi di pasar
modal syariah yang terdapat di tengah masyarakat, adalah menjadi tugas bersama
untuk memperbaiki, dan bahkan menyusun kembali baik sekuritas, Saham Syariah,
di pasar saham ini sesuai dengan prinsip syariah yang sebenarnya, sehingga
dapat memberikan kemaslahatan bagi umat. Karena walaupun masalah di atas masih
banyak dijumpai, tapi semua berdasarkan prinsip syariah yang halal dan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadji, Tjipto dan
Hendy MF, Pasar Modal di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2001)
Djazuli, Ahmad, Lembaga-lembaga
Perekonomian Ummat (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002)
Edukasi Profesional Syariah, sistem
Kerja Pasar Modal Syariah (Jakarta:Renaisan, 2005)
Hamidi, M.
Lutfi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abadi, 2003)
Lestari, Esta, Perbandingan
kinerja Pasar Modal Syariah dan Konvensional(Yogyakarta:Kreasi Wacana,
2008)
Metwally, Muhammad, Teori dan Ekonomi Islam, (Jakarta:
Bangkit Daya Insani, 1995)
Mulyaningsih, Yani, Kriteria Investasi Syariah dalam Konteks
Kekinian(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008)
Ngapon (staf bagian riset BAPEPAM), “Semarak Pasar Modal Syariah”,dalamhttp://www.bapepam.net/artikel/ngapon03.atp (19 April 2005 )
Rodoni, Ahmad,
dkk., Lembaga Keuangan Syariah (JAkarta:Zikrul, 2008)
Sholahuddin,
Muhammad, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Surakarta:
Muhammadiyah Universitas Press, 2006
Sudarsono, Heri, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakrta: EKOHISIA, 2008)
[1] M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan
Islam (Surakarta: Muhammadiyah
Universitas Press, 2006), 3
[9] M. Sholahuddin, Lembaga
Ekonomi dan Keuangan Islam ( Surakarta: Muhammadiyah Universitas
Press, 2006), 160-162
[11] Yani Mulyaningsih, Kriteria
Investasi Syariah dalam Konteks Kekinian (Yogyakarta:Kreasi Wacana,
2008), 95
0 komentar:
Posting Komentar