PENDAHULUAN
Semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin di
Indonesia ternyata membawa berbagai persoalan multi-dimensi bagi bangsa ini,
untuk mengurangi atau jika bisa menghilangkan kemiskinan ini diperlukan usaha
keras yang harus didukung oleh seluruh komponen bangsa. Dalam Islam salah satu
dari usaha untuk mengurangi serta mengentaskan kemiskinan adalah dengan adanya
syariat zakat yang berfungsi sebagai pemerataan kekayaan. Pendistribusian zakat
bagi masyarakat miskin tidak hanya untuk menutupi kebutuhan konsumtif saja
melainkan lebih dari itu. Dari sinilah pola pemberian zakat kepada para
mustahiq tidak hanya bersifat konsumtif saja, namun dapat pula bersifat
produktif.
Sifat distribusi zakat yang bersifat produktif berarti
memberikan zakat kepada fakir miskin untuk dijadikan modal usaha yang dapat
menjadi mata pencaharian mereka, dengan usaha ini diharapkan mereka akan mampu
memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Tujuan lebih jauhnya adalah menjadikan
mustahiq zakat menjadi muzzaki zakat.
Di antara tujuan diberikannya zakat adalah agar mereka
dapat memperbaiki kehidupan ekonominya menjadi lebih baik.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka
pendistribusian zakat tidak cukup dengan memberikan kebutuhan konsumsi saja,
model distribusi zakat produktif untuk modal usaha akan lebih bermakna, karena
akan menciptakan sebuah mata pencaharian yang akan mengangkat kondisi ekonomi
mereka, sehingga diharapkan lambat laun mereka akan dapat keluar dari jerat
kemiskinan, dan lebih dari itu mereka dapat mengembangkan usaha sehingga dapat
menjadi seorang muzakki.
Lalu bagaimana pendayagunaan zakat bagi usaha
produktif dalam syari'ah Islam? serta bagaimana aplikasinya dalam masyarakat?, makalah
ini mencoba untuk membahasnya secara ilmiah dan rinci.[1]
PEMBAHASAN
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
1.
Definisi
Pendayagunaan
mempunyai kata dasar daya dan guna kemudian diberi awalan pe dan akhiran an,
menurut kamus besar Bahasa Indonesia bahwa kata daya berarti kemampuan
melakukan sesuatu dan kata guna yang berarti manfaat sehingga kata
pendayagunaan berarti pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat,
bisa pula bermakna peningkatan kegunaan atau memaksimalkan kegunaan.[2]
Adapun Zakat
menurut etimologi berasal dari akar kata زكا – زكاء (zaka
– zakaa) yang berarti tumbuh, berkembang atau bertambah, kata yang sama
yaitu زكى (zaka)
bermakna menyucikan atau membersihkan.[3]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy makna zakat menurut bahasa berasal dari
kata نام (nama)
yang berarti Kesuburan, طهرة (thaharah) berarti
kesucian dan بركة (barakah) yang berarti
keberkatan, atau dikatakan تزكية و التطهير (tazkiyah
dan tathir) mensucikan.[4]
Dari pengertian secara bahasa dapat diketahui bahwa zakat secara bahasa bisa
bermakna tumbuh dan berkembang atau bisa bermakna menyucikan atau membersihkan.
Sementara Didin Hafiduddin berpendapat bahwa zakat ditinjau dari segi bahasa
bisa berarti (الصلاح
) Ash-Shalahu yang berarti
kebersihan.[5]
Sedangkan
menurut terminology (syara’) zakat adalah sebuah
aktifitas (ibadah) mengeluarkan sebagian harta atau bahan makanan utama sesuai
dengan ketentuan Syariat yang diberikan kepada orang-orang tertentu, pada waktu
tertentu dengan kadar tertentu.[6]
2. Dasar
Hukum
Di antara dalil yang menjadi dasar hukum bagi pendistribusian zakat adalah
Firman Allah Subhanahu wata'ala dalam QS At-Taubah ayat 60 :
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat
berikutnya adalah dalam QS Ar-Rum ayat 38.
فَئَاتِ ذَا
الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ
يُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Maka berikanlah kepada kerabat yang
terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang beruntung
Adapun dalil
dari As-Sunnah atau Hadits adalah sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam
dalam sebuah haditsnya :
عَنْ ابْنِ
عَبّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُما: أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم
بَعَثَ مُعَاذاً إِلَى لْيَمَنِ ـ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ ـ وَفِيْهِ: "إنَّ
الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمِ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤخَذُ مِنْ
أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدُّ فُقَرَائِهِمْ". مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ
لِلْبُخَارِيِّ.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Nabi
saw. pernah mengutus Muadz ke Yaman , Ibnu Abbas menyebutkan hadits itu, dan
dalam hadits itu beliau bersabda : Sesungguhnya Allah telah memfardhukan atas
mereka sedekah (zakat) harta mereka yang di ambil dari orang-orang kaya di
antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.
HR Bukhary dan Muslim, dengan lafadz Bukhary.[7]
ZAKAT
PRODUKTIF
zakat
produktif adalah zakat yang diberikan kepada fakir miskin berupa modal usaha
atau yang lainnya yang digunakan untuk usaha produktif yang mana hal ini akan
meningkatkan taraf hidupnya, dengan harapan seorang mustahiq akan bisa menjadi
muzakki jika dapat menggunakan harta zakat tersebut untuk usahanya. Hal ini
juga pernah dilakukan oleh Nabi, dimana beliau memberikan harta zakat untuk
digunakan shahabatnya sebagai modal usaha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh
Didin Hafidhuddin[8] yang
berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ketika Rasulullah
memberikan uang zakat kepada Umar bin Al-Khatab yang bertindak sebagai amil
zakat seraya bersabda :
"خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ
بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا
سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ".
رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Ambilah dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah)
dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta
semacam ini sedang engkau tidak membutukannya dan bukan engkau minta, maka
ambilah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan
nafsumu. HR Muslim.[9]
Kalimat فَتَمَوَّلْهُ
(fatamawalhu)
berarti mengembangkan dan mengusahakannya sehingga dapat diberdayakan, hal ini
sebagai satu indikasi bahwa harta zakat dapat digunakan untuk hal-hal selain
kebutuhan konsumtif, semisal usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Hadits
lain berkenaan dengan zakat yang didistribusikan untuk usaha produktif adalah
hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya :
أن رسولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لم يكون شيئا
علي اللإسلام إلا أعطاه, قال : فأتاه رجل فساله, فامر له بشاء كثير بين جبلين من
شاء الصدقة, قال : فرجع إلي قومه فقال : يا قوم أسلموا فإن محمد يعطي عطاء من يخشى
الفاقة ! رواه أحمد بإسناد صحيح
Bahwasanya
Rasulallah tidak pernah menolak jika diminta sesuatu atas nama Islam, maka Anas
berkata "Suatu ketika datanglah seorang lelaki dan meminta sesuatu pada
beliau, maka beliau memerintahkan untuk memberikan kepadanya domba (kambing)
yang jumlahnya sangat banyak yang terletak antara dua gunung dari harta
shadaqah, lalu laki-laki itu kembali kepada kaumnya seraya berkata " Wahai
kaumku masuklah kalian ke dalam Islam, sesungguhnya Muhammad telah memberikan
suatu pemberian yang dia tidak takut jadi kekurangan !" HR. Ahmad dengan
sanad shahih.[10]
Pemberian kambing kepada muallafah
qulubuhum di atas adalah sebagai bukti bahwa harta zakat dapat disalurkan
dalam bentuk modal usaha.
Pendistribusian zakat secara
produktif juga telah menjadi pendapat ulama sejak dahulu. Masjfuk Zuhdi
mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Al-Khatab selalu memberikan kepada fakir
miskin bantuan keuangan dari zakat yang bukan sekadar untuk memenuhi perutnya
berupa sedikit uang atau makanan, melainkan sejumlah modal berupa ternak unta
dan lain-lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.[11]
Demikian juga seperti yang dikutip oleh Sjechul Hadi Permono yang menukil
pendapat Asy-Syairozi yang mengatakan bahwa seorang fakir yang mampu
tenaganya diberi alat kerja, yang mengerti dagang diberi modal dagang,
selanjutnya An-Nawawi dalam syarah Al-Muhazzab merinci bahwa tukang jual roti,
tukang jual minyak wangi, penjahit, tukang kayu, penatu dan lain sebagainya
diberi uang untuk membeli alat-alat yang sesuai, ahli jual beli diberi zakat
untuk membeli barang-barang dagangan yang hasilnya cukup buat sumber
penghidupan tetap.[12]
Pendapat Ibnu Qudamah seperti yang
dinukil oleh Yusuf Qaradhawi mengatakan “Sesungguhnya tujuan zakat adalah untuk
memberikan kecukupan kepada fakir miskin….”[13]
Hal ini juga seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi yang membawakan pendapat
Asy-Syafi’i, An-Nawawi, Ahmad bin Hambal serta Al-Qasim bin Salam dalam
kitabnya Al-Amwal, mereka berpendapat bahwa fakir miskin hendaknya
diberi dana yang cukup dari zakat sehingga ia terlepas dari kemiskinan dan
dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara mandiri.[14]
Secara umum tidak ada perbedaan
pendapat para ulama mengenai dibolehkannya penyaluran zakat secara produktif.
Karena hal ini hanyalah masalah tekhnis untuk menuju tujuan inti dari zakat
yaitu mengentaskan kemiskinan golongan fakir dan
miskin.
3. Pendayagunaan Zakat bagi Mustahiq
Zakat
Di antara
mustahiq zakat yang berhak untuk menerima zakat produktif adalah kaum fakir,
miskin, Amil zakat[15]
serta para Muallaf.[16]
Namun yang lebih diutamakan dari mereka adalah golongan fakir dan miskin.
Selain mereka hanya mendapatkan zakat konsumtif atau keperluan tertentu saja
seperti ibnu sabil, fi sabilillah, gharimin dan hamba sahaya. Tabel di
bawah ini menjelaskan tentang distribusi mustahiq yang dapat memperoleh zakat
produktif :
No
|
Asnaf
|
Produktif
|
Non-Produktif
|
Keterangan
|
1
|
Fakir
|
V
|
V
|
|
2
|
Miskin
|
V
|
V
|
|
3
|
Amil
|
V
|
V
|
|
4
|
Muallaf
|
V
|
V
|
|
5
|
Riqab
|
-
|
V
|
|
6
|
Gharimin
|
-
|
V
|
|
7
|
Ibnu Sabil
|
-
|
V
|
|
8
|
Fi Sabilillah
|
-
|
V
|
Pada tabel
terlihat bahwa kelompok fakir dan miskin menjadi prioritas dalam menerima zakat
produktif, sehingga kepada merekalah diberdayakan zakat jenis ini. Adapun
mengenai amilin dan muallaf pada asalnya mereka juga dapat
diberikan harta zakat dalam bentuk ini, namun hal ini akan disesuaikan dengan
keadaan zaman apakah memang diperlukan atau tidak. Berbicara mengenai
pendistribusian bagi fakir dan miskin maka seberapa besar hak atau bagian
mereka dalam zakat ?
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu harus kita perhatikan beberapa
kebijakan dalam rangka pemberdayaan zakat sebagai langkah awal, di antara
kebijakan tersebut adalah, Pertama kebijakan yang bersifat umum, yaitu segala
daya dan upaya dalam rangka memanfaatkan hasil pengumpulan zakat kepada sasaran
dalam pengertian yang lebih luas sesuai dengan cita rasa syara’, secara
tepat guna, efektif manfaatnya dengan distribusi yang serba guna dan produktif,
sesuai dengan pesan dan kesan syariat serta tujuan sosial ekonomi dari zakat.
Kebijakan kedua yaitu pendayagunaan per mustahiq zakat, maksudnya adalah bahwa
interpretasi dan pengembangan pada tiap mustahiq dapat dilakukan sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemaslahatan ummat.[17]
Sayid Sabiq
dalam Fiqh As-Sunnah, mengatakan bahwa hendaklah ia ( fakir miskin )
diberi zakat sebesar jumlah yang dapat membebaskannya dari kemiskinan kepada
kemampuan, dari kebutuhan kepada kecukupan untuk selama-lamanya.[18]
Senada dengan hal ini Hasbi Asy-Shiddiqy juga mengatakan bahwa pemberian kepada
fakir miskin haruslah dapat memenuhi kehidupan mereka dan bisa dijadikan modal
usaha.[19]
Mengenai
zakat produktif yang diberikan kepada fakir miskin maka dapat
berupa alat-alat untuk usaha, modal kerja atau pelatihan keterampilan. Yang
dapat dijadikan sebagai mata pencaharian dan sumber hidupnya. Menurut M.A.
Manan dalam “ Effects of Zakat Assessement and Collection on the
Re-distribution of income in Contemporary Muslim Caountries “ seperti
dikutip oleh Sjechul Hadi Permono, mengatakan bahwa dana zakat dapat
didayagunakan untuk investasi produktif, untuk membiayai bermacam-macam proyek
pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharan kesehatan, air bersih dan
aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial yang lain, yang dipergunakan
semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin diharapkan
bisa meningkat sebagai hasil dari produktivitas mereka yang lebih tinggi.[20]
Dari semua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa zakat dapat disalurkan kepada
para mustahiq zakat dari golongan fakir dan miskin dalam bentuk zakat produktif
yang berupa modal usaha ataupun alat-alat untuk menjalankan usaha. Demikian
juga penyaluran dapat berupa pelatihan-pelatihan serta keterampilan-keterampilan
agar mereka dapat bekerja, sekaligus dana zakat juga dapat digunakan untuk
pembangunan pabrik-pabrik yang mempekerjakan para fakir miskin.[21]
Pendayagunaan
zakat selain memberdayagunakan para mustahiq zakat juga dapat dilakukan
dengan langkah lain, sebuah pendapat menarik dilontarkan oleh Sahri Muhammad,
beliau menggagas tentang adanya Bank Zakat, yaitu sebuah lembaga yang menjadi
perantara antara muzzaki dan mustahiq, yang fungsinya sama dengan
bank. Adapun ciri khusus dari Bank Zakat adalah :
1.
Tugas utama
Bank Zakat adalah menghimpun dana zakat, infak dan sedekah dan ditujukan kepada
obyek-obyek zakat yang telah ditentukan.
2.
Bank Zakat
beroperasi semata-mata untuk mengembangkan dana zakat, infak dan sedekah.
3.
Bank Zakat
menyalurkan dana pinjaman tanpa bunga baik para mustahiq zakat yang memerlukan
modal usaha.[22]
Bila kita lihat ide di atas, saat
ini Bank Zakat tersebut dapat digantikan posisinya dengan badan amil zakat
ataupun lembaga amil zakat yang keduanya memang bergerak pada pengelolaan zakat
infak dan sedekah. Hanya saja ide Bank Zakat lebih pada ingin menggantikan
posisi bank-bank konvesional yang ada saat ini, sehingga fungsi-fungsinya dapat
dicover oleh Bank Zakat.
Ide pemberdayaan zakat lainnya
dikemukakan oleh Sjechul Hadi Permono yang mengutip pendapat beberapa ahli
ekonomi muslim mereka menawarkan adanya sistem Surplus Zakat Budget, penjabarannya
adalah jumlah total penerimaan zakat lebih besar daripada jumlah total
distribusi zakat. Artinya tidak semua dana zakat yang terkumpul dibagikan,
namun hanya sebagian dan sisanya menjadi tabungan yang merupakan sumber
pembiayaan proyek-proyek produktif. Hal ini dilakukan karena jika zakat
disalurkan secara konsumtif terus menerus maka dikhawatirkan akan menimbulkan
inflasi, demikian menurut pengamatan Akram Khan. Dengan adanya surplus zakat
budget ini diharapkan dapat mengurangi permintaan dalam ekonomi
sehingga dapat mengurangi tingkat harga.[23]
Ide ini juga menawarkan adanya Zakat Serificate. Untuk menggantikan
serah terima uang tunai, maka dana zakat oleh lembaga amil zakat dapat
diinvestasikan dalam industri-industri untuk menyediakan pekerjaan bagi fakir
msikin, agar mereka mendapatkan pekerjaan tetap sehingga mempunyai kehidupan
yang wajar. Keuntungan dari industri-industri ini dapat dibagikan kepada fakir
miskin ataupun gharimin dalam bentuk deviden tahunan. Pada
periode-periode tingkat harga membumbung tinggi, deviden-deviden itu tidak
dibagikan dalam bentuk uang tunai, tetapi sebaliknya sertifikat zakatlah yang
dibagikan dan baru dapat diuangkan atas kehendak holder (pemilik) setelah
berjalan waktu 3 – 6 bulan. Dengan cara ini permintaan dalam bidang ekonomi
dapat diperkecil dalam suatu masa yang pendek, sehingga tidak menimbulkan
fluktuasi harga.[24]
Kedua ide di atas jika kita padukan
maka akan tercipta sebuah badan atau lembaga yang mengurusi masalah zakat
secara integral, dimana idealnya adalah mencontoh Baiutl Mal pada zaman
keemasan Islam. Saat ini badan amil zakat dan lembaga amil zakat menjadi alternatif,
diharapkan fungsi-fungsi dari baitul mal dapat terwakili, selain itu yang tidak
kalah penting adalah seyogyanya lembaga amil zakat meluruskan niatnya karena
Allah dan dengan ikhlas ingin mengentaskan para mustahiq zakat dari
jurang kemiskinan.
Skala prioritas haruslah menjadi
perhatian amil zakat, jika dana yang terkumpul hanya sedikit maka prioritas
utama adalah mustahiq yang sangat membutuhkan terutama dalam bentuk zakat
konsumsi, sedangkan jika dana yang terkumpul lebih dari cukup maka dapat digunakan
untuk seluruh asnaf atau untuk investasi produktif yang melibatkan kelompok
fakir miskin serta hasilnya dapat mereka manfaatkan, selain itu juga dapat
dipergunakan untuk program pengentasan kemiskinan dengan menyalurkan zakat
untuk usaha produktif baik dalam bentuk modal usaha, alat-alat usaha, pelatihan
keterampilan, bimbingan usaha dan lain-lain.
ZAKAT BAGI USAHA PRODUKTIF
Usaha produktif adalah setiap usaha yang dapat
menghasilkan keuntungan ( profitable ), mempunyai market yang potensial
serta mempunyai managemen yang bagus, selain itu bahwa usaha-usaha tersebut
adalah milik para fakir miskin yang menjadi mustahiq zakat dan bergerak di
bidang yang halal. Usaha-usaha seperti inilah yang menjadi sasaran zakat
produktif.
Dalam pendistribusiannya diperlukan adanya lembaga
amil zakat yang amanah dan kredibel yang mampu untuk me-manage
distribusi ini. Sifat amanah berarti berani bertanggung jawab terhadap segala
aktifitas yang dilaksanakannya terkandung didalamnya sifat jujur. Sedangkan
professional adalah sifat mampu untuk melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya dengan modal keilmuan yang ada.[25]
Pola pendistribusian zakat produktif haruslah diatur
sedemikian rupa sehingga jangan sampai sasaran dari program ini tidak tercapai.
Beberapa langkah berikut menjadi acuan dalam pendistribusian zakat produktif :
1.
Forecasting yaitu meramalkan, memproyeksikan dan mengadakan
taksiran sebelum pemberian zakat tersebut.
2.
Planning, yaitu merumuskan dan merencanakan suatu tindakan
tentang apa saja yang akan dilaksanakan untuk tercapainya program, seperti
penentuan orang-orang yang akan mendapat zakat produktif, menentukan tujuan
yang ingin dicapai, dan lain-lain.
3.
Organizing dan Leading, yaitu mengumpulkan berbagai element yang
akan membawa kesuksesan program termasuk di dalamnya membuat peraturan yang
baku yang harus di taati.
4.
Controling yaitu pengawasan terhadap jalannya program sehingga
jika ada sesuatu yang tidak beres atau menyimpang dari prosedur akan segera
terdeteksi.[26]
Selain langkah-langkah tersebut di atas bahwa dalam
penyaluran zakat produktif haruslah diperhatikan orang-orang yang akan
menerimanya, apakah dia benar-benar termasuk orang-orang yang berhak menerima
zakat dari golongan fakir miskin, demikian juga mereka adalah orang-orang yang
berkeinginan kuat untuk bekerja dan berusaha. Masjfuk Zuhdi menyebutkan bahwa
seleksi bagi para penerima zakat produktif haruslah dilakukan secara ketat,
sebab banyak orang fakir miskin yang masih sehat jasmani dan rohaninya tetapi
mereka malas bekerja. Mereka lebih suka menjadi gelandangan daripada menjadi
buruh atau karyawan. Mereka itu tidak boleh diberi zakat, tetapi cukup diberi
sedekah ala kadarnya, karena mereka telah merusak citra Islam. Karena itu para
fakir miskin tersebut harus diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi
latihan-latihan keterampilan yang sesuai dengan bakatnya, kemudian baru diberi
modal kerja yang memadai.[27]
Setelah mustahiq penerima zakat produktif ditetapkan
selanjutnya adalah Amil zakat harus cermat dan selektif dalam memilih usaha
yang akan dijalankan, pemahaman mengenai bagaiamana mengelola usaha sangat
penting terutama bagi Amil mengingat dalam keadaan tertentu kedudukannya
sebagai konsultan / pendamping usaha produktif tersebut. Di antara
syarat-syarat usaha produktif dapat dibiayai oleh dana zakat adalah :
- Usaha
tersebut harus bergerak dibidang usaha-usaha yang halal. Tidak
diperbolehkan menjual belikan barang-barang haram seperti minuman keras,
daging babi, darah, symbol-symbol kesyirikan dan lain-lain. Demikian juga
tidak boleh menjual belikan barang-barang subhat seperti rokok, kartu remi
dan lain sebagainya.
- Pemilik
dari usaha tersebut adalah mustahiq zakat dari kalangan fakir miskin yang
memerlukan modal usaha ataupun tambahan modal.
- Jika
usaha tersebut adalah perusahaan besar maka diusahakan mengambil tenaga
kerja dari golongan mustahiq zakat baik kaum fakir ataupun miskin.
Setelah usaha yang akan dijadikan obyek zakat
produktif ditentukan maka langkah berikutnya yaitu cara penyalurannya. Mengenai
penyalurannya dapat dilakukan dengan model pinjaman yang “harus” dikembalikan,
kata harus di sini sebenarnya bukanlah wajib, akan tetapi sebagai bukti
kesungguhan mereka dalam melakukan usaha.
Yusuf Qaradhawi menawarkan sebuah alternatif bagaimana
cara menyalurkan zakat kepada fakir miskin, beliau mengatakan seperti dikutip
oleh Masjfuk Zuhdi bahwa orang yang masih mampu bekerja / berusaha dan dapat
diharapkan bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara mandiri,
seperti pedagang, petani, pengrajin, tetapi mereka kekurangan modal dan
alat-alat yang diperlukan, maka mereka itu wajib diberi zakat secukupnya
sehingga mereka mampu mandiri seterusnya. Dan mereka bisa juga ditempatkan di
berbagai lapangan kerja yang produktif yang didirikan dengan dana zakat.[28]
Setelah proses penyaluran selesai, maka yang tidak
kalah penting adalah pengawasan terhadap mustahiq yang mendapatkan zakat
produktif tersebut, jangan sampai dana tersebut disalah gunakan atau tidak
dijadikan sebagai modal usaha. Pengontrolan ini sangat penting mengingat
program ini bisa dikatakan sukses ketika usaha mustahiq tersebut maju dan dapat
mengembalikan dana zakat tersebut. Karena hal inilah yang diharapkan, yaitu mustahiq
tersebut dengan usahanya akan maju dan berkembang menjadi mustahiq zakat.
Model pengawasan terhadap bergulirnya dana zakat
produktif dapat pula berupa pendampingan usaha, semacam konsultan yang akan
mengarahkan para mustahiq dalam menjalankan usahanya. Model pendampingan ini
juga hendaknya tidak hanya terfokus kepada usaha yang dikelolanya, melainkan
juga dapat mendampingi dan memberikan input dalam hal spiritual mustahiq.
Diadakannya kelompok-kelompok pertemuan antar mustahiq penerima zakat produktif
dengan pengelola zakat dapat dijadikan momen untuk memberikan tausiah
keagamaan, jadi selain untuk mengentaskan kemiskinan keduniaan sekaligus
mengentaskan mereka dari kemiskinan spiritual.
Bagaimana aplikasi penyaluran dana zakat
produktif pada masyarakat yang telah dilakukan oleh Badan Amil Zakat dan
Lembaga Amil zakat di Indonesia? Berikut beberapa contoh nya :
Di antara contoh pendistribusian zakat yang bersifat
produktif adalah yang telah dilaksanakan oleh BAZKAF PT. Telkom Indonesia
dimana mereka memasukan dua unsur produktif dalam penyaluran zakatnya :
a.
Investasi
dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan bentuk pemberdayaan SDM yaitu berupa
pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan beasiswa.
Sementara BAZ Kabupaten Sukabumi
menyalurkan dana zakat yang bersifat produktif kepada para fakir miskin yang
lemah kondisi ekonominya dalam bentuk modal usaha yang dengan beberapa variasi
program yaitu :
1.
Pemberdayaan
Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Zakat
2.
Bantuan
Modal usaha Kecil (BMUK)
3.
Bantuan
Modal Pertanian dan Peternakan
4.
Qordul Hasan
untuk PNS yang kesulitan pinjaman
5.
Penguatan
BMT
Program ini ditujukan bagi pengembangan ekonomi
produktif di kalangan keluarga miskin. Bentuknya dalam bentuk bantuan
permodalan bergulir dan bimbingan usaha, sehingga diharapkan dengan bantuan
tersebut sasaran dapat melakukan usaha sendiri secara mandiri dan
berpenghasilan tetap untuk keluar dari jerat kemiskinan. Kalau bisa menjadikan
usaha ekonomi lemah ini menjadi seorang muzzaki. Program ini juga bisa
berbentuk pelatihan usaha, Enterpreuneur School dll.
Adapun prosedurnya adalah bagi para
penerima Dana Zakat harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan dan mengisi
formulir permohonan serta akta perjanjian, hal ini diambil sebagai tanda
kesungguhan bagi penerima dana mengingat pengalaman tahun-tahun sebelumnya
sekitar 30 % dana tidak kembali.
Mengenai Enterpreuneur School bisa
dalam bentuk Short Course (Kursus singkat) wirausaha bagi siapa saja yang
berminat namun diutamakan dari golongan dhuafa dan fakir miskin yang mempunyai
keinginan untuk maju dan berkembang. Program ini akan terus berlanjut hingga
usaha tersebut benar-benar berdiri dan tugas BAZ adalah mendampingi dan membantu
dalam hal manajerial dan pengembangannya.
BAZ DKI Jakarta juga melakukan
terobosan baru dalam penyaluran zakat produktif ini, dengan menyalurkan modal
usaha, langkah pertama yang dilakukan adalah modal usaha yang diberikan itu
harus dikembalikan dalam waktu tertentu untuk disalurkan lagi kepada mustahiq
berikutnya, yaitu merupakan pinjaman modal tanpa bunga selama satu tahun,
sebagai pendidikan untuk meningkatkan kehidupan yang layak, demikian seperti
dikutip oleh Sjechul Hadi Permono.[30]
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat diambil dari makalah ini adalah :
1.
Mustahiq
zakat yang telah disebutkan dalam QS At-Taubah ayat 60 terdiri dari delapan
asnaf, kepada merekalah zakat didistribusikan.
2.
Interpretasi
baru yang merupakan pengembangan dari delapan asnaf mustahiq zakat adalah
langkah yang bagus sebagai suatu cara untuk mengoptimalkan fungsi zakat.
3.
Pendayagunaan
zakat dapat dilaksanakan dengan pengembangan terhadap delapan asnaf, misalnya
zakat untuk fakir miskin dapat dimanfaatkan untuk fasilitas umum bagi mereka,
seperti balai pengobatan cuma-cuma, klinik bersalin gratis, pembuatan pabrik
yang mempekerjakan merka dan lain-lain.
4.
Selain
pendistribusian zakat secara konsumtif dapat juga digunakan model
pendistribusian secara produktif yaitu memberikan uang zakat kepada fakir
miskin dalam bentuk modal usaha, atau berbentuk alat-alat untuk usaha yang
dapat mereka gunakan sebagai sumber mata pencaharian mereka.
5.
Dalam aplikasinya
lembaga amil zakat harus cermat dalam menyalurkan zakat produktif ini,
penelitian tentang penerima zakat kemudian jenis usaha produktif harus
mendapat perhatian lebih. Setelah itu managemen yang amanah dan profesional
turut memberikan kontribusi bagi kesuksesan program ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al-Jazairi, Fiqh 'ala
Madzahibul Arba'ah Juz I, Darul Ihya At-turats Al-'Araby cet : VII,
Beirut, Libanon, 1986
Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat,
BAZISKAF PT Telekomunikasi Indonesia, Jakarta. 1996.
Anonimus, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi III cet. II Jakarta, 2002
Anonimus, Holy
Qur’an (Versi 6.50) / Program Kitab Suci Al-Qur’an, Perusahaan Software
Sakhr / Perusahaan Al-Alamiah, Republik Arab Mesir.
1997
As-San’any, Subulus
Salam Syarah Bulughul Maram, Juz II cet : I.
A.W.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia, Pustaka Progresif,
Surabaya, 1997
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern. Cet. II. Gema Insani Press, Jakarta, 2002
Muhammad bin
Ali bin Muhammad Asy-Syaukany, Nailul AutharJuz III, Darul
Kalam Ath-Thayib, Damaskus. 1999
Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial. Pustaka Firdaus,
Jakarta,
[1]
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Taisir Karim Ar-Rahman fi Tafsir kalam
Al-Manan, Jam'iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, Kuwait, 2003, hal. 459-460
[2] ---,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, Edisi III cet. II
2002, hal. 242
[3]
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, hal. 577.
[4]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal.
24.
[5]
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Cet. II. Gema Insani
Press, Jakarta. hal.
[6]
Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, BAZISKAF PT TELKOM Indonesia, 1997,
hal. 30.
[7] Abu
Bakar Muhammad, Tereamahan Subul As-Salam II, Al-Ikhlash :
Surabaya, 1991, hal. 479.
[8]
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 133
[9]
Abu Bakar Muhammad (Penerjemah) Terjemahan Subulus Salam II. hal. 588
[11]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Penerbit PT. Gunung Agung Jakarta, cet.
VII 1997 hal. 246
[12] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58-59.
[13]
Yusuf Qaradhawi ( Asmuni SZ : Penerjemah ), Kiat Sukses mengelola Zakat,
Media Da’wah, Jakarta 1997, hal. 69-70.
[14]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, op. cit. hal. 246
[15]
Imam As-San'ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Juz II cet :
I. Jum’iyah Ihyau Turats Al-Islamy Kuwait
[16]
Imam Asy-Syaukani, Nailul AutharJuz III, Darul Kalam Ath-Thayib,
Damaskus.
[17] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit hal. 42 - 56
[18] Sayid
Sabiq, Fiqh As-Sunnah, hal. 106
[19]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hal.
168
[20] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 61-62.
[21]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, op. cit. hal. 249
[22]
Sahri Muhammad, Zakat dan Infak, hal. 85-86.
[23] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 49-51
[24] Ibid,
hal. 51
[25]
Lihat Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern hal. 129
[27]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, hal. 247
[29]
Anonimus, Pedoman Manajemen Zakat, op.cit hal. 57
[30] Pendayagunaan
Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, op.cit. hal. 58.
0 komentar:
Posting Komentar