PENDAHULUAN
Keberadaan bank syariah saat ini
telah menyebar diberbagai daerah di indonesia. Kegiatan usaha Bank syariah
berpedoman pada prinsip syariah, hal ini yang membedakannya dengan Bank
Konvensional. Adapun prinsip syariah tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 13
Undang-Undang Perbankan, bahwa perjanjian kerjasama antara pihak bank dengan
pihak lain dalam hal penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau usaha
lainnya harus sesuai dengan syariah. Di antara bentuk pembayaan kegiatan usaha
tersebut adalah pembiayaan dengan penyertaan modal (musyarakah).
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai musyarakah,
dari segi pengertian, landasan hukumnya, rukun musyarakah, syaratnya, serta
aplikasinya di dunia perbankan maupun di lembaga keuangan syariah.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Syirkah / Musyarakah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika, yasyraku, syarikan artinya menjadi
sekutu atau serikat.
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian
lainnya.[1]
Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak
atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.[2]
Musyarakah merupakan praktek muamalah
yang diperbolehkan oleh agama, hal ini didasarkan pada al-Qur’an, sunnah dan
ijma’ ulama’.
Surat an-Nisa’ ayat 12: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.
[274] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a.
Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud
mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
“.....Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu....”
Hadis riwayat Abu Hurairah:
انا ثالث
شريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما
“Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam dua orang yang berserikat, selama
salah satu dari mereka tidak ada yang berkhianat kepada yang lain. Jika ada
yang berkhianat kepada pihak yang lain, maka Aku keluar dari perserikatan di
antara mereka.”
2. Rukun
Syirkah
Rukun Syirkah
adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:[3]
1. Akad
disebut juga shighat
2. Dua
pihak yang berakad
Syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf
(pengelolaan harta)
3. Obyek
akad yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal
Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima.
Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat.
Dan menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan
qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.
3. Syarat Syirkah
Syarat Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum
dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Syarat syirkah secara umum ada 3 (tiga) yaitu:[4]
a. Kerjasama
tersebut merupakan transaksi yang boleh diwakilkan.
b. Persentase
pembagian keuntungan bagi masing-masing pihak ditentukan ketika akad.
c. Keuntungan
itu diambilkan dari keuntungan modal perserikatan.
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a)
Obyek akadnya berupa tasharruf
yaitu
aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli.
b)
Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar
keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para mitra usaha.
4. Jenis-Jenis
Musyarakah
Secara garis besar syirkah ada dua
macam, yakni:[5]
1. Syirkah
Amlak, yaitu bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih dalam
memiliki harta bersama-sama tanpa melalui atau didahului akad syirkah. Syirkah
bentuk ini juga ada dua bentuk, yaitu:
a. Syikah Ikhtiyariah, yaitu
perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat. Misalnya dua orang
diberi harta wasiat dari seseorang, dia bisa menolak atau menerima harta itu.
b.
Syirkah Jabariyah, yaitu perserikatan yang muncul secara paksa, bukan
karena kehendak orang yang berserikat. Misalnya dua orang atau lebih yang
terpaksa menerima harta waris sebagi milik bersama.
2. Syirkah ‘Uqud, yaitu akad yang
disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal
dan keuntungannya. Syikah ‘uqud juga ada beberapa macam yaitu:
a. Syirkah
‘inan/syirkah amwal.
Para
fuqaha’ sepakat bahwa syirkah ini diperbolehkan syari’ah.
b. Syirkah
mufawadhah.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Zaidiyah, syirkah bentuk ini boleh karena
syirkah seperti ini telah umum di masyarakat dan tidak ada ulama’ yang mengingkarinya.
Sedangkan ulama’ Malikiyah tidak membolehkan syirkah mufawadhah seperti yang
dipahami ulama’ Hanafiyah, namun apabila masing-masing pihak dapat bertindak
hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja tanpa harus minta izin
kepada anggota yang lain, maka boleh. Demikian juga dengan ulama’ Syafi’iyah
dan Hanabilah tidak membolehkan syirkah yang dipahami ulama’ Hanafiyah, karena
ketentuan tersebut sulit diwujudkan, dan keduanya membolehkan syirkah seperti
yang dipahami ulama’ Malikiyah.
c. Syirkah wujuh.
Ulama’
Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah berpendapat boleh. Namun ulama’ Malikiyah,
Syafi’iyah, Dhahiriyah dan Syiah Imamiyah menyatakan tidak sah dan tidak boleh.
Alasan mereka bahwa obyek syirkah adalah modal dan kerja, sedangkan dalam
syirkah wujuh obyek syirkahnya tidak jelas.
d. Syirkah
abdan/syirkah a’mal.
Ulama’
Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena
tujuan utama kerjasama ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja
bersama. Dan menurut ulama’ Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah dan Zufar bin Huzail
(pakar fiqh Hanafi) berpendapat hukumnya tidak sah, karena obyek syirkah adalah
harta/modal bukan kerja.
e. Syirkah mudharabah.
Jumhur
ulama’ menyatakan bahwa mudharabah tidak termasuk akad syirkah. Hanya ulama’
Hanabilah yang menganggapnya sebagai syirkah.
·
Adapun syarat khusus masing-masing syirkah yaitu:[6]
(1) Syirkah ‘inan/amwal: modal tersebut
jelas dan tunai, bukan berbentuk utang dan bukan berbentuk barang; dan menurut
Ibnu Rusyd kedua harta itu lebih baik dan lebih sempurna disatukan, karena
semua pihak punya hak dan kewajiban yang sama terhadap harta itu sehingga tidak
memunculkan kecurigaan.
(2) Syirkah mufawwadhah: kedua pihak cakap
dijadikan wakil; modal, kerja, keuntungan untuk semua pihak harus sama; semua
pihak berhak menangani seluruh obyek perserikatan; lafadh yang digunakan akad
adalah akad mufawadhah. Apabila syarat-syarat tersebut ada yang tidak
terpenuhi maka akadnya berubah menjadi syirkah ‘inan.
(3) Syirkah wujuh dan syirkah abdan/a’mal: apabila
perserikatan itu berbentuk ‘inan maka syaratnya sama
seperti syirkah ‘inan dan jika berbentuk mufawadhah maka
syaratnya sama seperti syirkah mufawadhah.
(4) Syirkah mudharabah, karena jumhur ulama’
menyatakan mudharabah adalah akad tersendiri, maka mempunyai rukun dan syarat
tersendiri layaknya akad mudharabah.
5.
Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan
Syariah
Secara
umum, bank syariah memiliki dua aktivitas:[7]
Pertama, aktivitas
perdagangan (a’mal tijariyah)
yang diklaim sebagai pengganti aktivitas Ribawi. Ini dijalankan dengan melalui
berbagai macam akadnya, seperti: mudharabah,
murabahah (pembelian barang
lewat lembaga) dan musyarakah (patungan) dalam sektor-sektor
pertanian, industri, perdagangan dan lain-lain.
Kedua, aktivitas jasa
perbankan dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misal jasa
transfer uang dan pertukaran mata uang,
Menurut
Siddik al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Jogja, aktivitas yang pertama memiliki subhat pada
realitasnya, karena terdapat beberapa
penyimpangan yang terjadi : Pertama, secara
teori, syirkahmudharabah berlaku
prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit
and loss sharing) sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko
kerugian diimbangi hak mendapat keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah
satu kali pun ada bank syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan
suatu keanehan. Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami
kerugian.. Kedua, kurangnya
SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah
mengambil pegawainya dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi
masih memiliki pola pikir dan budaya kerja non syariah.
Adapun
aktivitas yang kedua, merupakan aktivitas yang dibolehkan syariah, asal dijalankan
sesuai syarat dan rukunnya.
KESIMPULAN
·
Syirkah adalah suatu akad antara dua
pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
·
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad disebut juga shighat
2. Dua pihak yang berakad
3. Obyek akad yang mencakup
pekerjaan (amal) dan/atau modal
·
Syarat syirkah secara umum ada 3 (tiga) yaitu:
a. Kerjasama tersebut merupakan
transaksi yang boleh diwakilkan.
b. Persentase pembagian keuntungan bagi masing-masing pihak ditentukan
ketika akad.
c. Keuntungan itu diambilkan dari
keuntungan modal perserikatan.
·
Jenis-Jenis Musyarakah
1. Syirkah Amlak
2. Syirkah Uqud
·
Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan
Syariah
Secara
teori, syirkah mudharabah berlaku
prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit
and loss sharing) sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak
mendapat keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank
syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan. Karena
pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian, karena kurangnya SDM yang cakap untuk
mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari
bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola pikir dan
budaya kerja non syariah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd. Shamad, “Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia”, Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Ahyar,
Bina Iman, Surabaya, 2003
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, pen: Abu Usamah Fatkhur Rahman,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2007
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007
[1]Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007
[2]Ibid
[3]Hendi Suhendi. 2002. Fiqh
Muamalah. Grafindo: Jakarta
[4]Ibid
[5]Abd. Shamad, “Hukum Islam,
Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Prenada Media Group,
Jakarta, 2010
[6]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
pen: Abu Usamah Fatkhur Rahman, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007
[7]Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Bina Iman, Surabaya, 2003
0 komentar:
Posting Komentar