Makalah Analisis Terorisme.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak
mencuatnya kasus 11 September di Amerika Serikat, Negara-negara di dunia mulai
meningkatkan keamanan dan berbagai langkah antisipasi terhadap gerakan
terorisme, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu
sendiri.
Pasca tragedi bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang
tercatat, sedikitnya, 202 orang tewas dan 209 orang terluka,[1] Indonesia
mulai mengintensifkan penanganan terorisme. Hal ini diapresiasikan dengan
di bentuknnya pasukan Densus 88 Anti terror oleh Mabes POLRI atau pasukan
khusus lainnya yang tugas utamanya mengantisipasi dan menggagalkan aksi terorisme
di Indonesia.
Akhir-akhir ini, modus aksi terorisme mulai beragam,
mulai dari bom bunuh diri, bom buku bahkan dengan modus penculikan yang
disertai dengan pencucian otak korbannya (brain whasing). Ancaman tersebut bisa
terjadi kapan saja dan di mana saja, serta mengancam keselamatan jiwa setiap orang.
Saat ini tidak ada tempat yang aman dan dapat dikatakan bebas dari ancaman
terorisme.
Menyadari
sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme,
serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari
Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut
tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual
dibalik setiap aksi terorisme tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum.
Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum
yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih
didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
(KUHP), akhirnya pemerintah menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003
disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 Tentang
pemberantasanTindak Terorisme
1.2 Rumusan Masalah
Setelah mengkaji dan menganalisis beberapa
polemik yang berkenaan dengan tindak terorisme di Indonesia yang disertai
dengan semakin meningkatnya aksi teror akhir-akhir ini, timbullah beberapa
pertanyaan yang muncul dari dalam hati kami seiring dengan semakin mencuatnya
kasus terorisme tersebut, diantaranya :
1.
Apa yang menjadi motif yang melatarbelakangi
keberadaan terorisme tersebut ?
2.
Bagaimanakah pandangan islam mengenai label jihad yang
sering di dengung-dengungkan oleh para teroris untuk melegistimasi setiap aksi
teror mereka ?
3.
Bagaimanakah paradigma mereka dalam menafsirkan
tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad tersebut
4.
Sudah sejauh mana sepak terjang yang telah dilakukan
kelompok teroris tersebut ?
5.
Sejauh manakah peranan undang-undang UU No.15 Tahun
2003 tentang terorisme dalam meminimalisis aksi teror di Indonesia, serta sudah
tepatkah pembentukan pasukan khusus “Densus 88” dalam menanggulangi tindak terorisme dalam
situasi seperti sekarang ini?
6.
Bagaimanakah islam memandang keberadaan UU
Terorisme tersebut berdasarkan
tinjauanMaqasidu Ash-Syariah?
1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun
beberapa tujuan yang ingin kami capai dengan adanya tugas makalah ini adalah
ingin memberikan beberapa pemahaman mengenai segala bentuk seluk beluk mengenai
teroris yang ada di Indonesia, serta menyadarkan kepada kita semua bahwa
yang namanya teroris itu, tidak semuanya akan menguntungkan.
Maka dengan semangat kebersamaan kita semua, mari wujudkan masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat yang aman dan tentram, terbebas dari yang namanya terorisme.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian
Terorisme menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah menggunakan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Teroris adalah
orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk
tujuan politik). Terror adalah perbuatan sewenang-wenang,
kejem, bengis dan usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau
golongan.
Terorisme
secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan
terhadap penduduk sipil untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil
dari pada perang .
Terorisme mengandung arti ‘menakut-nakuti’. Kata
tersebut berasal dari bahasa latinterrere, “menyebabkan ketakutan”, dan
digunakan secara umum dalam pengertian politik sebagai serangan terhadap
tatanan sipil selama rezim terror pada masa Revolusi Perancis vakhir abad XVII.[2]
Dengan bejalannya waktu, penggunaan istilah terorisme
rupanya mengalami mengalami perluasan makna, karena masyarakat menganggap
terorisme sebagai aksi-aksi perusakan publik, yang dilakukan tanpa suatu alasan
militer yang jelas, serta penebaran rasa ketakutan secara luas di dalam tatanan
kehidupan masyarakat.
2.2 Alasan Munculnya Terorisme .
Jika
di pahami secara jernih kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi
beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor pisikologis tetapi
juga ekonomi, politik, agama, sosiologis dan masih banyak yang lain.
Terlalu
simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasarkan satu
penyebab saja, misalnya psikologis. Konflik etnik, agama, dan ideologi,
kemiskinan, tekanan modernisasi ketidakadilan politik, kurangnya saluran
komunikasi dana, tradisi kejamanan, lahirnya kelompok – kelompok revolusioner,
kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah.
Memang
tidak bisa disalahkan jika terorisme dikaitkan dengan persoalan hak asasi manusia
(HAM), karenA akibat terorisme banyak kepentingan umat manusia yang
dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah dijadikan ongkos kebiadaban dan
kedamaian hidup antar umat manusia jelas – jelas dipertaruhkan.
Namun
demikian, akhir-akhir ini
kita sering mendengar bahwa aksi-aksi yang melatar belakangi aksi terorisme di
Indonesia sering kali dipertautkan dengan agama. Bukankah sudah menjadi
kebenaran umum bahwa agama merupakan suatu wadah dalam menciptakan
ketentraman dan kedamaian umat manusia.
Dalam sebagian besar kasus rupanya agama tidak hanya
ditangarai menyediakanideology, tapi juga motivasi dan struktur
organisasional para pelaku kejahatan tersebut. misalnya saja dalam penafsiran
bebas tentang ayat-ayat al Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan jihadyang
sering di jadikan dogma fundamental bagi para pelaku teror
tersebut.
Secara epistimologi jihad berasal dari bahasa
arab al-juhdu atau al-jahdu yang merupakan
bentuk masdar dari kata jahada. Jadi, al-juhdu atau al-jahdu yakni
pencurahan kemapuan dan kekuatan untuk menatang sesuatu yang lain. Maka dalam
syariat, kata ini diartikan sebagai memerangi orang yangt disyariatkan untuk
diperangi, dari kalngan kafir dan lainnya.[3]
Ada banyak dalil yang sering di salah artikan didalam
memahami ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad, misalnya:
Ø “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang
besar.,” (At-Taubah:111)
Ø “Hai
orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu
itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah,
bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (At-Taubah:123)
Ø Sebuah hdits yang diriwayatkan dari Anas ra,
sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Perangilah orang musyrik dengan harta, diri,
dan lidahmu.”[4]
Ø Pemikiran Ibnu Rusd, “setiap orang yang membebani
dirinya karena Allah, maka dia telah berjihad di dalamnya. Hanya saja, bila
jihad fi sabilillah dinyatakan, maka tidak ada maksud lain kecuali memerangi
orang kafir dengan menggunakan pedang, hingga mereka mau masuk islam, atau
memberikan jizyah secara patuh dan mereka tubduk,”[5] dll.
Dalil-dalil
tersebut, mereka jadikan landasan serta pijakan hukum untuk membenarkan aksi
terror mereka, tanpa harus mengetahui siapakah obyek/musuh sebenarnya yang
harus diperangi, bagaimana tata cara pelaksanaan serta aturannya, nengingat
Nabi saw juga menerapkan suatu aturan di dalam tata cara berperang bagi
mujahidin muslim saat itu, misalnya dilarang membunuh anak-anak, wanita, orang
tua, bahkan orang keristen yang sedang beribadah di dalam gerejanya serta
larangan di dalam merusak tempat ibadah.
Meskipun
begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan, khususnya jika
dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro walaupun dengan menggunakan
kategori “Jihad.” Jika
manusia yang tidak berdosa menjadi korban dan kepentingan publik menjadi rusak
berantakan, serta Negara dilanda Disharmonisasi Nasional, maka kategori“Jihad” maupun
alasan keagamaan apapun yang membenarkan kebiadaban tersebut patut
dipertanyakan.
Seorang
anak muda yang menyatakan diri sebagai pelaku pemboman bunuh bdiri mengatakan
bahwa “ketika saya meledakkan” dan “menjadi martir tuhan yang suci,” dia dijajikan
sebuah tempat untuk dirinya dan keluarganya di surga, 72 bidadari, dan
“pemberian ganti rugi” kepada keluarganya yang setara dengan 6000 dolar”.[6]
Doktrin
di atas merupakan salah satu dari ribuan doktrin-doktrin yang ditanamkan kepada
para pelaku terror, dimana mereka tidak mengetahui maksud dan tujuan yang
sebenarnya dari nilai essensial jihad tersebut, sehingga mereka hanya
memikirkan iming-iming balasan serta pahala atas tindakan aksi terror mereka.
Karena
itu Rasulullah jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa para mujahidin yang
diberi ganjaran ialah yang niatnya ikhlas lillahi Ta’ala, tidak bercampur
dengan ingin dilihat dan dikenal orang.[7] Dan
mereka tidak pernah memikirkan hadiah apa yang akan diberikan tuhan kepadanya,
karena para mujahudin tersebut benar–benar berjuang dengan ikhlas untuk menegakkan
kalimat Allah di dalam hatinya.
Dari Abu Musa Ra, katanya, “Rasulullah Saw ditanya
tentang seorang yang berperang karena dorongan keberanian, karena fanatisme,
dan berperang karena ingin dikenal. “Yang mana yang dikatakan berperang fi
sabillillah, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab: “Siapa yang berperang
supaya kalimat Alloh tegak dan tinggi, maka dia dinyatakan telah berperang fi
sabilillah.” (dikeluarkan oleh kelima imam)[8]
Dari Abu Hurairah Ra. Katanya,”Ada seorang bertanya
kepada Rasulullah Saw. Tanyanya,”Ya Rasulullah, ada seorangyang berperang jihad
fi sabilillah tetapi tujuannya untuk mendapatkan kedudukan dunia.” Maka
Rasulullah menjawab, ”Dian tidak akan mendapatkan pahala (diulangnya sabdanya
itu sampai tiga kali) Laa ajru lahu!”(HR.Abu Daud)[9]
Hal
ini mengantarkan pada suatu pertanyaan, jika terorisme membenarkan kekreasan
dalam menggapai tujuannya, lalu bagaimnakah dengan jihad, apakah ia memiliki
kesamaan dengan terorisme? Ini merupakan pertanyaan sederhana tetapi mengena
karena jika jihad tersebut memang berasal dari ideology keagaman,
pastilah akan berakibat positif bagi pemeluknya dan orang disekitarnya, karena
agama pastilah mempunyai standarisasi atau norma tersendiri dalam mekanisme
pelaksanaan jihad tersebut sesuai dengan tujuannya untuk menjadi rahmat
li al-‘alamin. Jadi, jihad sama
sekali berbeda dengan aksi terorisme yang selalu menghalalkan segala cara untuk
menggapai tujuannya.
Jika
mereka membenarkan kekerasan dengan mengemas jihad sebagai labelnya tanpa
mendalami makna esensial dari arti jihad itu sendiri hingga
nyawa-nyawa yang tidak berdosa turut menjadi korban, maka keabsahan jihad
tersebut patut kita pertanyakan kembali.
2.3 Karakter dan sasaran terorisme
a) karakter teroris berdasarkan hasil studi dan
pengalaman empiris dalam menangani aksi terrorisme yang dilakukan oleh PBB
antara lain, sebagai berikut:
· Teroris
umumnya mempunyai organisasi yang solid, disiplin tinggi, militan
dengan struktur organisasi berupa kelompok-kelompok kecil, dan perintah
dilakukan melalui indoktrinasi serta teroris dilatihan bertahun-tahun sebelum
melaksanakan aksinya.
· Teroris menganggap bahwa proses damai untuk
mendapatkan perubahan sulit untuk diperoleh.
· Teroris memilih tindakan yang berkaitan dengan tujuan
politik dengan cara kriminal dan tidak mengindahkan norma dan hukum yang
berlaku.
· Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologi yang
tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
b) Sasaran strategis teroris antara lain :
· Menunjukkan kelemahan alat-alat kekuasaan ( Aparatur
Pemerintah )
· Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat
atau segmen tertentu dalam masyarakat.
· Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka
bertindak represifkemudian mendiskreditkan pemerintah dan
menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris.
· Menggunakan media masa sebagai alat penyebarluasan
propaganda dan tujuan politik teroris.
· Sasaran fisik bangunan antara lain : Instalasi
Militer, bangunan obyek vital seperti pembangkit energi , instalasi
komunikasi, kawasan industri, pariwisata dan sarana transportasi,
· Personil Aparat Pemerintah, Diplomat ,Pelaku bisnis
dan Personil lawan politik.
Jadi,
sasaran aksi teroris yang umumnya terhadap manusia maupun obyek lainnya harus
mampu dijaga dengan system yang lebih baik dari system teroris yang bertujuan
untuk menyoroti kelemahan system kepemerintahan yang dirancang untuk
menghasilkan reaksi publik yang positif atau simpatik bagi para teroris.
BAB III
Penjelasan UU.Terorisme No. 15 Tahun 2003
3.1 Pelaku Teror/Teroris
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan
bahwasanya, Teroris
adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas.
3.2 Peran Pemerintah
Berdasarkan Undang-undang diatas, pemerintah berperan
dalam menjaga kelangsungan pembangunan nasional dan menciptakan suasana aman,
tenteram, dan dinamis bagi masyarkatnya, yaitu dengan meningkatkan pencegahan
terhadap segala bentuk ancaman yang mengganggu kesetabilan nasional dan
memberikan hukuman yang sepantasnya bagi para pelaku terror, dalam rangka mencegah,
menanggulangi, dan memberantas tindak pidana terorisme.
Langkah
pemerintah membentuk densus 88 harus diacungi jempol, mengingat kerja keras
mereka yang berhasil menangkap dan menggalkan berbagai aksi terorisme di Negara
kita ini, mulai tewasnya Dr. Azhari dan M. Noerdin Top serta
terbongkarnya modus operasi mereka. Semua itu
merupakan bukti bahwa pemerintah tidak main-main dalam menangani permasalahan
tersebut.
3.3 Hukuman bagi para Teroris
Para pelaku teror dihukum berdasarkan tindakan yang
mereka lakukan dan peranannya dalam setiap aksi terror tersebut. Mengingat
Negara kita adalah Negara hukum, maka yang berhak untuk memutuskan berat
tidaknya hukuman yang akan dibebankan kepada para teroris tersebut adalah
putusan pengadilan, yang didasarkan atas keterangan saksi, barang bukti dan lainnya.
Efek jera pasti akan menghantui para pelaku teror yang
lain, mengingat diberlakukannya hukuman mati bagi para teroris, seperti yang
dijalani oleh para pelaku bom bali 1 (Imam Samudra, dkk) di LP. Nusa Kambangan, semoga dengan
diberlakukannya hukuman tersebut bisa meminimalisir aksi teroris di negeri ini.
BAB IV
Tinjauan Maqosid Asy – Syari’ah
Dalam perspektif hukum islam, setiap peraturan perlu
dianalisis dan dikaji lebih mendalam lagi, agar setiap peraturan tersebut bisa
mencerminkan suatu kemaslahatan dan berfungsi secara maksimal. Maqosid
As-Syari’ah adalah salah satu metodologi yang sangat relevan guna
menganalisis peraturan tersebut, karena dalam menganalisis suatu permasalahan,
maqosid as-syari’ah tidak hanya melihat dari sisi religious saja, mtetapi juga
memperhatikan memandang dari segi aspek, sosial, dan budaya.
Sebagai doktrin, Maqosid Ash-Syariah berfungsi untuk mencapai, menjamin dan melestarikan
kemaslahatan bagi umat islam. Oleh karena itu dicanangkanlah tiga sekala
prioritas yang saling melengkapi, diantaranya:
1. Al-dharuriyat (melindungi agama,jiwa,akal,harta dan keturunan)
2. Al-hajiyat (merupakan suatu kebutuhan yang bersifat sekunder)
3. Al-tahsiniyat ( merupakan suatu kebutuhan pelengkap/tersier)
Sebagai
metode, teori doktrin Maqasid Ash-Syariah diatas, bisa dipakai
sebagaia pisau analisis dalam rangka membedakan suatu permasalahan, sehingga
dapat dihasilkan kesimpulan hukum atas permasalahan tersebut.
Isi kandungan dari Undang-undang no 15 tahun 2003
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris terbukti bermaksud untuk membela Maqosid Ash-Syari’ah (tujuan-tujuanSyari’ah),
yang berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Maqosid Ash-Syari’ah tingkat pertama yaitu Dharuri, dimana
keberadaan undang-undang tersebut bersifat wajib, karena memiliki maksud untuk
melindungi jiwa, akal, harta, agama, keturunan, dan harga diri. Suatu
kemaslahatan tidak akan bisa tercapai jika jiwa masyarakat terancam.
Ketika
jiwa masyarakat tidak bisa diselamatkan maka hal ini akan membuat kekayaan
menurun yang diakibatkan karena sudah tidak adanya tulang punggung keluarga.
Selain
itu, masyarakat yang menjadi korban tidak dapat melaksanakan ibadahnya
dengan khusu’, karena kebanyakan masyarakat yang menjadi korban tindak
terorisme tersebut banyak yang mengalami depresi, stress, bahkan gangguan jiwa.
Dan begitu pula ketika para
korban tersebut meninggal dunia, secara otomatis akan mengurangi pertumbuhan
penduduk, dan mumutuskan rantai keturunan.
Maqosid
Ash-Syari’ah tingkat yang kedua yaitu Hajiyat (sekunder)
dalam hal ini Undang-undang terorisme bisa bersifat Hajiyat (sekunder)
ketika Negara berada dalam kondisi aman terkendali, dimana keberadaan
Undang-undang tersebut hanya dibutuhkan untuk mengantisipasi ancaman tindak
terorisme.
Maqosid
Ash-Syari’ah tingkat yang ketiga yaitu Tahsiniyat (pelengkap).
Undang-undang terorisme bisa
dianggap bersifat Tahsiniyat jika hanya berfungsi untuk mendongkrak popularitas
negaranya, karena
telah ikut serta dalam upaya pembrantasan tindak terorisme dunia
seperti yang dilakukan negara maju, seperti Amerika, Inggris dan sekutunya
sehingga menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri dengan keberadaan Undang-undang terorisme tersebut.
BAB V
PENUTUP
Dari
uraian materi diatas, serta analisis kita berdasarkan fakta dan realita tindak
terorisme yang terjadi di Indonesia, mulai dari peristiwa Bom Bali, Hotel
JW.Mariot, sampai aksi Bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris, maka
kami menarik kesimpulan bahwa keberadaan Undang-undang terorisme di
Indonesia saat ini bersifat Dharuri, mengingat banyaknya
orang yang tidak bersalah yang turut menjadi korban, hancurnya sarana dan
prasarana umum, serta menimbulkan keresahan masyarakat, dimana masyarakat masih
hidup di bawah ancaman teror.
Meskipun ada beberapa dari pasal-pasal yang harus direvisi dan dikaji ulang,
seperti yang dilaporkan oleh badan Amnesty
Internasional yang menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
introgasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat.
Penerapan
UU anti terorisme dapat membawa implikasi negatif bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya kehidupan masyarakat demokrasi, apabila peraturan yang terkandung
di dalam setiap pasalnya belum bisa memberikan batasan-batasan atas wewenang
aparat negara dalam penerapan Undang-Undang tersebut, sehingga bisa membuka
peluang untuk disalahgunakan, seperti adanya kasus penangakapan beberapa orang
yang dicuriagai sebagai teroris yang diperiksa dan ditangkap tanpa prosedur hukum yang sah
dan benar. Contoh kecil yang bisa lihat saat ini, misalnya
seperti pada penerapan pasal 31 UU Anti Terorisme, yang memasukkan hak-hak
penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos
serta melakukan penyadapan pembicaraan. Pasal itu bahkan tidak memberikan batasan terhadap
tindakan penyadapan apa saja yang boleh dilakukan oleh penyidik. Penyidikhanya cukup memiliki bukti permulaan yang cukup untuk
bisa melakukan itu semua.
Tapi
tidak terlepas dari semua itu, kami mengucapkan banyak terima kasih atas
kinerja aparat negara kita saat ini, yang sudah bekerja semaksimal mungkin
dalam rangka memberantas aksi terorisme, baik melalui penerapan UU Anti
Terorisme maupun aksi Densus 88 yang sudah banyak memberikan sumbangsih yang
sangat besar dalam menggagalkan aksi terorisme di indonesia, meskipun pada
kenyataannya ada beberapa pasal dari UU Anti Terorisme tersebut yang harus
direvisi dan dikaji ulang agar dalam penerapan UU Anti Terorisme tidak membuat
resah masyarakat dan tidak melanggar hak-hak asasi manusia, mengingat dari
tujuan diberlakukannya undang-undang tersebut adalah untuk menimbulkan rasa
aman, tentram dan kemaslahatan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikianlah
makalah kami ini kami buat, kami mengakui bahwa tiada yang sempurna didunia
ini, kekurangan dan kekhilafan pastilah turut mewarnai di dalam proses
penyelesaian makalah ini, oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
bila ada kata atau kalimat yang kurang berkenan di dalam isi makalah ini.
Kritik dan saran tetap kami nantikan sebagai pelengkap dalam penyempurnaan
makalah ini. Atas perhatiannya kami sampaikan banyak terima kasih.
Daftar Pustaka
v Al-Audah, Salman. 1993, Jihad: Sarana menghilangkan ghurbah islam, Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
v Juergensmeyer , Mark.2002, Teror Atas Nama
Tuhan Kebangkitan Global Kekerasan Agama, terj, M. sadat ismail, Jakarta
selatan: Nizam Press.
v Medpress,Tim.2005, Pertualangan Teror Dr.
Azahari, Yogyakarta: Media Pressindo.
v Turan,Ahmad.2002, Waspadalah Terhadap Ancaman
Teroris dan Teror Bom, Jakarta: Amalia Bhakti Jaya.
v Azzam Abdullah. 1994, Perang Jihad DI Jaman
Modern, terj, H. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press
v Abimanyu,
Bambang. 2005, Teror Bom di Indonesia, Jakarta:
Grafindo.
v Wahid, Abdul,
dkk. 2004, Kejahatan Terorisme, Bandung: PT. Retika Aditama.
v Chomsky,
Noam. 1991, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Yogyakarta:
Mizan.
v Salendra,
Kasjim. 2009, Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departement Agama RI.