PENDAHULUAN
Seiring bekembangnya proses pengolahan
pertanian, dimana para petani sangat membutuhkan unsur pendukung yang lebih
sesuai dengan kondisi lingkungan yang kualitasnya semakin menurun, serta faktor
kebutuhan para petani dalam mengolah lahan hasilnya lebih efisien. Maka, proses
pengolahan lahan pertanian lebih membutuhkan biaya lebih.
Dengan adanya biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh petani, mengakibatkan mereka harus memperhitungkan banyaknya
biaya agar zakat yang dikeluarkan atas hasil pertaniannya sesuai dengan
biaya-biaya yang dikeluarkan selama masa pembajakan sampai dengan masa panen.
Oleh karena itu, dengan adanya biaya-biaya yang dibebankan dalam proses pengolahan,
akan berpengaruh atau tidak dalam menetapkan besarnya zakat yang harus
dikeluarkan.
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi
tiap- tiap muslim yang mempunyai harta benda menurut ketentuan yang telah
ditetapkan oleh hukum Islam. Zakat menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya
syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap
muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam
kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara
rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan umat manusia.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Zakat Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan
atau tanaman
yang bernilai ekonomis,
seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran,
buah-buahan, tanaman keras, tanaman hias, rerumputan, dan
dedaunan, ditanam dengan menggunakan
bibit bebijian di mana hasilnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan.
B. Pendapat
Ulama Madzhab
Terdapat beberapa perbedaan pendapat
mengenai jenis tanaman dan buah-buahan yang wajib dizakati.[1]
a. Imam
Hanafi
Beliau
berpendapat bahwa semua tanaman yang keluar dari bumi wajib dizakati, kecuali
kayu, rumput tebu persi.
b. Imam
Maliki dan Imam Syafi’i
Menurut mereka, yang termasuk dalam golongan hasil pertanian
hanyalah terbatas pada hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai makanan
pokok, seperti padi, gandum, kedelai, jagung, kacang, dan lain-lain, serta buah
kurma dan anggur.[2]
c. Imam
Hambali
Beliau
berpendapat bahwa, Semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan disimpan
wajib dizakati
Sedangkan berdasarkan keputusan Direktur
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000, pasal
15 ayat (3) mengenai macam-macam hasil pertanian yang wajib dizakati adalah
sebagai berikut.[3]
a. Padi
b. Biji-bijian.
Seperti, jagung, kacang-kacangan, dll.
c. Tanaman
hias. Seperti, anggrek dan segala jenis bunga-bungaan.
d. Rumput-rumputan.
Seperti rumput hias, tebu, bambu dan sebagainya.
e. Buah-buahan,
yaitu kurma, anggur, mangga, jeruk, pisang, kelapa, rambutan, durian dan
lainnya.
f. Sayur-sayuran.
Meliputi, bawang, wortel, cabe dan sebagainya.
g. Segala
jenis tumbuh-tumbuhan lainnya yang bernilai bisnis.
C.
Nishab Zakat
Pertanian
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq
atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti
beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 486 kg dari hasil
pertanian tersebut. Akan tetapi apabila hasil pertanian itu bukan merupakan
makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka
nisabnya disetarakan dengan harga nisab dari makanan pokok yang paling umum di
daerah tersebut. Sedangkan di Indonesia mayoritas makanan pokoknya adalah
beras, jagung dan sagu. Syarat pada buah-buahan
dan biji-bijian adalah hendaknya yang sudah menguning atau memerah dan
biji-bijian bisa dilepas dari kulitnya.
D. Kadar Zakat Pertanian dengan Adanya
Biaya Pengolahan dan Pemupukan
Dalam sistem pertanian saat ini,
untuk menghasilkan panen yang lebih baik maka diperlukan biaya-biaya dalam
pengolahannya. Tidak hanya air, akan tetapi ada biaya lain seperti biaya
pengelolaan, pupuk, intektisida dan lainnya. Maka, dalam mempermudah
perhitungan kadar zakatnya, biaya-biaya tersebut diambil dari hasil panen atau
memotong harta yang akan dizakati, kemudian sisanya apabila melebihi nishab
wajib dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% tergantung dari sistem pengairannya.
Kadar zakat untuk hasil pertanian,
apabila diairi dengan air hujan atau sungai/mata air, maka kadarnya adalah 10%.
Sedangkan apabila diairi dengan cara disiram atau irigasi (ada biaya tambahan)
maka zakatnya 5%.[4]
Seperti Hadits Nabi saw. :”yang diairi dengan
air hujan ,mata air dan tanah zakatnya sepersepuluh (10%), sedangkan yang
disirami zakatnya seperduapuluh (5%).
Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa
apabila pengolahan lahan pertanian diairi dengan air hujan (sungai) dan
disirami (irigasi) dengan perbandingan 50:50, maka kadar zakatnya adalah 7,5%
(3/4 dari 1/10).
E. Waktu
Penunaian Zakat
Penunaian zakat pertanian dilakukan pada saat memanennya.
Pada saat hasil panennya terkumpul hendaklah dihitung apabila telah mencapai
nishab maka zakat menjadi wajib untuk ditunaikan. Dan apabila belum mencapai
nishab maka tidak ada zakat bagi hasil panen tersebut. Penunaian zakat tidak
usah menunggu waktu satu tahun (haul)
karena apa yang keluar dari bumi termasuk pengecualian dan tidak diperlukan
haul.
Syaikh Jamil Zainu mengatakan: “Syarat wajib zakat
(diantaranya) sudah satu tahun. Yaitu harta yang sudah mencapai nishab itu
sudah dimiliki selama satu tahun, kecuali hasil bumi. Adapun zakat hasil bumi
ialah setiap musim panen.” Syaikh Abdul
Azhim Al Badawi menjelaskan: “Zakat wajib bagi setiap muslim yang merdeka
(bukan budak), yang memiliki harta mencapai nishab, dan jika sudah berjalan
haulnya selama satu tahun dari harta yang dimiliki tersebut, kecuali tanaman
(hasil pertanian) maka sesungguhnya zakatnya wajib ditunaikan pada saat
memanennya jika mencapai nishab, firman Allah SWT: “Dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan
zakatnya).”[5]
Ibnul Qayyim menjelaskan hikmah disyariatkan zakat hanya
sekali dalam satu tahun, dan zakat tanaman pada saat memanennya saja dengan
mengatakan: “Sesungguh (Rasulullah SAW) mewajibkan zakat sekali setiap tahun,
dan menjadikan haul tanaman dan buah-buahan ketika sempurnanya dan masak atau
tuanya. Ini lebih adil keadaanya, jika kewajibannya setiap bulan atau setiap
hari jum’at maka akan memudharatkan pemilik-pemilik harta.”
F. Contoh Kasus
1. Pak Tomo memiliki sawah yang
ditanami padi. Sawah tersebut menggunakan pengairan sungai. Setelah dihitung,
hasil panen yang diperoleh Pak Tomo mencapai 1500 kg. Sehingga zakat yang harus
dikeluarkan oleh pak Tomo adalah 10%x1500 kg, yaitu 150 kg.
Jika pengairannya menggunakan peralatan tertentu sekira air
tidak dapat menjangkau tanpa alat tersebut, maka zakatnya adalah 5 % x 1500
kg = 75 kg.
Nishab gabah kering hasil konversi K.H.Muhammad Ma’shum bin ‘Ali adalah 1323,132 kg atau 815,758 kg beras putih.
Nishab gabah kering hasil konversi K.H.Muhammad Ma’shum bin ‘Ali adalah 1323,132 kg atau 815,758 kg beras putih.
2. Sawah tadah hujan atau menggunakan
pengairan sungai ditanami padi.
Pada lahan A hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan B hasil panen yang diperoleh adalah 300 kg.
Pada lahan C hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan D hasil panen yang diperoleh adalah 400 kg.
Pada lahan A hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan B hasil panen yang diperoleh adalah 300 kg.
Pada lahan C hasil panen yang diperoleh adalah 500 kg.
Pada lahan D hasil panen yang diperoleh adalah 400 kg.
Jumlah = 1700 kg.
Zakat yang harus di keluarkan adalah : 10 % x 1700 kg = 170 kg.
Zakat yang harus di keluarkan adalah : 10 % x 1700 kg = 170 kg.
3. Menurut Madzhab Hanafi, zakat
pertanian juga dapat ditunaikan dalam bentuk uang setara dengan nilai hasil
pertanian yang harus di keluarkan, bukan 10 % dari harga jual. Misalnya :
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai ditanami
padi, menghasilkan panen 1500 kg, laku terjual Rp 1.400.000,00.
Harga pasar per 100 kg adalah Rp 100.000,00. Zakat yang semestinya di keluarkan
adalah 150 kg, ( 10 % x 1500 kg).
Dapat juga di tunaikan Rp 150.000. (harga pasar 150 kg).
Dapat juga di tunaikan Rp 150.000. (harga pasar 150 kg).
4. Pada sawah tadah hujan yang ditanami
padi. Dalam pengolahannya dibutuhkan pupuk dan intektisida seharga Rp
2.000.000,00. Hasil panen yang diperoleh mencapai 9000 kg atau Rp 9.000.000,00.
Sehingga perhitungannya adalah Rp 9.000.000,00-Rp 2.000.000,00= Rp
7.000.000,00. Hasil pertanian yang wajib dizakati setelah adanya biaya-biaya
pengolahan yaitu 10%xRp 7.000.000,00=Rp 700.000,00. Apabila pengairannya
menggunakan irigasi maka zakatnya adalah 5%xRp 7.000.000,00=Rp 350.000,00.
KESIMPULAN
Hasil
pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis,
seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman keras,
tanaman hias, rerumputan, dan dedaunan, ditanam dengan menggunakan bibit
bebijian di mana hasilnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan.
·
Macam-macam hasil
pertanian yang wajib dizakati adalah sebagai berikut:
a. Padi
b. Biji-bijian.
Seperti, jagung, kacang-kacangan, dll.
c. Tanaman
hias. Seperti, anggrek dan segala jenis bunga-bungaan.
d. Rumput-rumputan.
Seperti rumput hias, tebu, bambu dan sebagainya.
e. Buah-buahan,
yaitu kurma, anggur, mangga, jeruk, pisang, kelapa, rambutan, durian dan lainnya.
f. Sayur-sayuran.
Meliputi, bawang, wortel, cabe dan sebagainya.
g. Segala
jenis tumbuh-tumbuhan lainnya yang bernilai bisnis.
·
Nishab hasil pertanian
adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg.
·
Penunaian zakat pertanian dilakukan pada saat memanennya.
Pada saat hasil panennya terkumpul hendaklah dihitung apabila telah mencapai
nishab maka zakat menjadi wajib untuk ditunaikan. Dan apabila belum mencapai
nishab maka tidak ada zakat bagi hasil panen tersebut. Penunaian zakat tidak
usah menunggu waktu satu tahun (haul)
karena apa yang keluar dari bumi termasuk pengecualian dan tidak diperlukan
haul.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zuhayly Wahbah, Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, Bandung, Remaja Rosdakarya: 2000
Daud Mohammad
Ali, Sistem Ekonomi Islam : Zakat dan
Waqaf, Jakarta, UI
Press: 1988
Jawad Mughniyah Muhammad,
Fiqh Lima Madzhab, Jakarta, Lentera: 2011
Supani, Zakat di Indonesia : Kajian Fikih dan Perundang-undangan,
Purwokerto : STAIN Press:
2010
[2] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat :
Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 5,
hlm.184.
[3] Supani, Zakat di Indonesia :
Kajian Fikih dan Perundang-undangan, (Purwokerto : STAIN Press, 2010), Cet.
1, hlm. 139.
[4] Mohammad Daud Ali, Sistem
Ekonomi Islam : Zakat dan Waqaf, (Jakarta : UI Press, 1988), Cet. 1, hlm.
60.
0 komentar:
Posting Komentar