BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh
rizki, dan dengan rizki ia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam,
Al Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhn hidupnya yang berkebenaran
absolute. Sunnah Rasulullah Muhammad SAW berfungsi menjelaskan kandungan Al
Qur’an.[1]
Terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang merangsang manusia untuk
rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan
ekonomi dibenarkan oleh Al Qur’an.
Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak
orang dan menguntungkan sebagian kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya
riba. Al Qur’an telah jelas melarang riba. Selain itu juga agama –agama
lainpun melarangnya, bukan hanya etika agama yang mengutuknya, tetapi juga
etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan demikian, disamping diketahui
bahwa al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkn sikap kerasnya terhadap riba.
Salah satu lembaga perekonomian yang sampai saat ini
menggunakan system riba ialah bank. Menurut catatan sejarah, usia perbankan
sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani
Kuno, kemudian masyarakat Romawi.[2]
Istilah perbankan dalam masyarakat modern pada umumnya disebut dengan bank
konvesional. Bank konvensional melaksanakan pembagian keuntungan dengan system
bunga (persentase) tetap. Bank tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam
mendapat kerugian atau laba. Hal ini membuat sekelompok orang islam untuk
mendirikan bank islam dengan ciri tanpa bunga yang disebut dengan bank
syari’ah, seperti apakah bank syari’ah? Berikut akan diulas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah
Bank syari’ah adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalisasinya pada bunga. Bank Islam
atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbangkan
yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan
Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syari’at Islam.
Antonio dan perwataadmadja
membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan
prinsip syariat Islam.[3]
Bank Syari’ah adalah
1).Bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam
2).Bank yang tata
cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti
ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara
bermuamalah secara Islam. Dikatakan
lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan
kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[4]
B. Falsafah Operasional Bank Syariah
Setiap lembaga keuangan syari’ah
mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di
dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di
khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama , harus di hindari.[5]
a.Menjauhkan diri dari unsur riba,
caranya:
1).Menghindari penggunaan system
yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman,
ayat: 34)
2).Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biyayaa
terhadap hutang atau pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure
meliputi gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena
berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130)
3).Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang
ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik
kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
4).Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas
hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR.
Muslim, Bab Riba No.1569 s.d 1572)
b.Menetapkan system bagi hasil dan
perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqqrah ayat 275 dan An
Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas
dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya
pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku
prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi
barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya
penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[6]
C. Prinsip - Prinsip Bank Syariah
Prinsip syari’ah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai
dengan syari’ah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut
oleh sistem perbankan syari’ah antara lain
·
Pembayaran
terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
·
Pemberi dana
harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha
institusi yang meminjam dana.
·
Islam tidak
memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan
media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
·
Unsur Gharar
(ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah
transaksi. diharamkan dalam islam. Usaha
minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada
akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan
sistem ekonominya.[7]
D. Dasar Hukum Bank Syariah Di Indonesia
Bank syari’ah di tanah air mendapatkan
pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sector perbankan pada tahun 1983.
Kemudian posisi perbankan syari’ah semakin pasti setelah disahkan UU Perbankan
Indonesia No.7 tahun 1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan
jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun
keuntungan-keuntungan bagi hasil.
Dengan terbitnya PP No. 72 tahun 1992
tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi
hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan
prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip bagi hasil” (pasal 6), maka jalan bagi operasional perbankan syari’ah
semakin luas.kini titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya UU No.10
Thn 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan
mendirikan bank syari’ah maupun yang ingin mengkonfersi dari system
konvensional menjadi system syari’ah
UU No.10 ini sekaligus menghapus pasal
6 pada PP No 72/1992 yang melarang dual ` system. Dengan tegas pasal 6 UU No10/1998 membolehkan
bank umum yang melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syari’ah.[8] Selain
itu dasar perbankan syari’ah juga terdapat dalam UU Perbankan No 10 thn 1998 (
pasal 1 ayat 12,13; pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c) yang merupakan UU
Perbankan No 7 Tahun 1992.
Untuk menjalankan undang-undang
tersebut selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat tahun 1999 dilengkapi bank umum
berdasarkan prinsip syari’ah dan bank
perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah. Aturan yang berkaitan dengan
Bank Umum berdasarkan prinsip syari’ah diatur dalam Surat Keputusan direksi
bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.[9]
E. Produk – Produk Bank Syariah
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu produk
penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.
1). Produk Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana kepada nasabah,
secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam tiga kategori yang
dibedakan berdasarkan tujuan penggunaan yaitu:
·
Transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli.
·
Transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
·
Transaksi
pembiyaan untuk usaha kerja sama yang dituju guna mendapatkan sekaligus barang
dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua,
tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang
atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk
yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istishna serta
produk yang menggunakan prinsip sewa atau ijarah. Sedangkan kategori ketiga,
tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya usaha sesuai dengan prinsip
bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil
yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini
adalah musyarakah dan mudhrabah.
Ø
Prinsip jual beli (Ba’i)
Prinsip jual beli diadakan sehubung
diadanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property).
Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang
yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan
waktu penyerahan barang seperti :
a)
Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli,
dimana bank mendapat sejumlah keuntungan. Dalam hal ini, bank menjadi penjual
dan nasabah menjadi pembeli. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika
telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
b)
Salam
Salam adalah transaksi jual beli,
dimana barangnya belum ada, sehingga
barang yang menjadi objek transaksi
tersebut diserahkan secara tangguh.
Dalam transaksi ini, bank menjadi
pembeli dan nasabah menjadi penjual.
c)
Istishna
Alur trankasksi Istishna mirip dengan
Salam, hanya saja dalam Istishna, Bank dapat membayar harga pembelian dalam
beberapa kali termin pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ø
Prinsip Sewa (Ijarah)
Secara prinsip, Ijarah sama dengan
transaksi jual beli. Hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah
dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang
yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antra Bank dan
nasabah yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan
berpindahnya kepemilikan)
Ø
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang
didasarkan dengan prinsip bagi hasil adalah :
a)
Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk umum dari
usaha bagi hasil. Dalam kerjasama ini para pihak secara bersama-sama memadukan
sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal
proyek kerjasama, dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.
b)
Mudarabah
Dalam mengaplikasikan prinsip
mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal, dan bank
sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan
pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula
dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
Ø
Akad Pelengkap
Untuk memudahkan pelaksanan pembiyaan,
biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiyaan. Meskipu tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini
dibolehkan untuk meminta pengganti biaya biaya yang dikeluarkan untuk
melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi
biaya yang benar benar timbul.
a)
Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi pengalihan
utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya
untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya atas jasa.
b)
Rahn
Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal
dengan Gadai. Tujuan akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
c)
Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya
dalam hal seorang calon haji membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi
syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada
nasabah calon haji tersebut dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan
Hajinya.
d)
Wakalah
Wakalah dalam praktek Perbankan
syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili
dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan
transfer uang.
e)
Kafalah
Kafalah dalam bahasa umum lebih
dikenal dengan istilah Bank Garansi, yang ditujukan untuk menjamin pembayaran
suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan
sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana
tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa
yang diberikan.
2). Produk
Penghimpunan Dana
Produk penghimpunan dana dibank
syariah dapat berupa giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah
yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah wadi’ah dan
mudharabah.
a)
Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan dalam
Perbankan syariah adalah Wadiah Yad Dhamanah yang diterapkan pada produk
rekening giro. Dalam konsep Wadi’ah Yad Dhamanah, Bank dapat mempergunakan dana
yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari
dana yang dititipkan.
b)
Mudharabah
· Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah
yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal.
· Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
adalah Aqad Mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul
Mal untuk investsi-investasi tertentu.
· Mudarabah of Balance Sheet
Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank
bertindak sebagai arranger, yang mempertemukan nasabah pemilih modal dan
nasabah yang akan menjadi mudharib.
c)
Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan
syariah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili
dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
3) Produk Jasa
Bank syariah dapat melakukan berbagai
pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa
atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
a)
Sharf (jual beli valuta asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing
sejalan dengan prinsip Sharf, sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot).
Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b)
Ijarah (Sewa)
Jenis kegiatan Ijarah antara lain
penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi
dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.[10]
F. Pandangan Ulama Mengenai Bank Syariah
1). Majlis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun
1968 memutuskan bahwa bunga bank milik pemerintah termasuk masalah shubhat dan
bahkan pada tahun 2006 memutuskan fatwa haram. Adapun masalah keputusan Tarjih
sebagai berikut;
1. Hasil keputusan hukum harus ditaati namun keputusan masalah sosial
ekonomi, Majlis Tarjih harus
melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa membumi dan fatwa haramnya
bunga bank tidak perlu ditanfidh.
2. Bank dibutuhkan dalam dunia perekonomian, berfungsi sebagai
intermediary tetapi tidak setuju dengan sistem bunga karena riba dan
menimbulkan eksploitasi. Sedangkan adanya bank syari’ah sangat ditunggu umat
Islam untuk menghindari bunga.
3. Masih dibolehkannya menjadi nasabah bank konvensional selama bank
syari’ah belum benar-benar siap dan dengan dasar keterpaksaan/dharurat.[11]
2). Nahdlatul Ulama’
Dalam musyawarah nasional alim ulama
NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram
mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang
membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain. Namun demikian, dalam
Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan kepada negara agar segera
memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan
asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.
3). Majlis Ulama’ Indonesia
MUI mengharamkan bunga bank sejak th
2003, Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar dari hukum haram bunga
bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya dengan aman, bank syariah bisa
menjadi solusinya. Sebab, hukum keharaman bunga bank itu tidak sekedar adanya
timbal-balik dari simpanan kita, tetapi juga dana yang kita simpan di bank yang
juga digunakan untuk upaya riba. "Dulu, sebelum ada bank syariah, kita
menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau hukumnya ya tetap saja
sama, bunga bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah ada bank syariah, harus
dipindahkan ke bank syariah, bank tanpa bunga," terangnya[12]
Peluang Dan
Tantangan Perbankan Syariah
Dengan Menjamurnya layanan syariah dan
juga Perbankan Syariah di Indonesia, secara langsung menciptakan situasi yang
sangat kompetitif bagi pelaku bisnis di bidang perbankan syariah, baik dari
diversifikasi produk Syariah maupun bentuk layanan yang akan diberikan kepada
walk in customer, existing customer
maupun prime customer. Terkait dengan suasana kompetisi yang ada saat ini, maka
dapat dijelaskan berbagai peluang dan tantangan yang dihadapi perbankan Syariah
(Bank Umum Syariah) dan Unit Usaha Syariah.
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh
Perbankan Syariah adalah sebagai berikut :
·
Stigma
sebagian masyarakat Indonesia yang perlu diluruskan bahwa Perbankan Syariah
adalah Banknya umat Islam dan bukan dilihat sebagai salah satu konsep
alternatif untuk bertransaksi di dunia Perbankan Nasional.
·
Semakin
banyaknya kompetitor yang ingin meraih semaksimal mungkin pangsa pasar syariah
di Indonesia, sehingga ”kue” syariah semakin kecil pembagiannya.
·
Ketergesa-gesaan
terhadap diversifikasi produk dan layanan syariah, pada satu titik tertentu
dapat menciptakan kekhilafan, kesalahan prosedur serta dapat menyalahi aturan
yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) maupun Bank Indonesia
(BI). Hal ini akan berdampak negatif bagi Bank tersebut, karena dapat berimbas
kepada reputasi dan kerugian finansial Bank tersebut.
·
Seringnya
penggunaan rekening bank, baik Bank Konvensional maupun rekening Bank Syariah
yang digunakan untuk kegiatan penipuan (berkedok hadiah, SMS untuk transfer
dana, Penjualan on line, dll) sehingga dapat menimbulkan risiko reputasi
terhadapat bank tersebut, terlebih lagi dengan bank syariah yang dikenal dengan
menggunakan prinsip syariah yang berbasiskan islam.
Namun demikian, terdapat pula beberapa
peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Perbankan Syariah yaitu:
·
Sumber Daya
Manusia yang terus di up grade oleh masing masing Bank, hal ini ditandai dengan training yang terus
dilakukan kepada karyawan di Industri Perbankan Syariah, yang dilakukan oleh
Trainner yang sangat berpengalaman baik diadakan di dalam maupun di luar
negeri.
·
Dukungan
penuh dari Pemerintah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat dan Regulator
yang mengeluarkan berbagai ketentuan seperti Undang – Undang Perbankan Syariah,
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, membuat gairah
Perbankan Syariah semakin bergelora.
·
Dana
Pengurusan Haji yang saat ini masih banyak ”parkir” di bank-bank ”plat merah”
dengan bantuan pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama RI, dapat di share
juga ke Bank Syariah Nasional maupun Swasta, sehingga potensi perkembangan
Perbankan Syariah dapat meningkat dengan signifikan dan pada titik tertentu
industri perbankan syariah ini dapat bersaing dengan negara tetangga kita
seperti Malaysia dan Siangapura.[13]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1). Bank Syari’ah merupakan implementasi dari
Bank Islam dengan ciri tanpa
bunga/riba
2). Bank Syari’ah
sebenarnya sama dengan Bank Konvensional pada umumnya, yang membedakannya kalau Bank Syari’ah memakai
system bagi hasil sedangkan bank Konvensional memakaisistem bunga.
3) Dasar
hukum Bank syari’ah di Indonesia:
ü
UU Perbankan Indonesia No.7 tahun 1992
ü
Pasal 6 PP No. 72 tahun 1992 yang kemudian dihapus oleh pasal 6 UU No.10
Thn 1998
ü
UU Perbankan No 10 thn 1998 ( pasal 1 ayat 12,13; pasal 6 huruf m dan
pasal 13 huruf c)
ü Surat Keputusan direksi bank
Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.
4) Produk yang ditawarkan perbankan syariah
banyak sekali, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu produk
penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.
5) MUI dan Muhammadiyah mengharamkan adanya
bunga bank karena hal ini sama dengan riba sedangkan NU masih khilafiyah, ada
sebagian yang membolehkan dengan alasan dharurat ada juga yang mengharamkannya,
akan tetapi semuanya mendukung adanya bank syari’ah sebagai lembaga
perekonomian yang berdasarkan syari’at Islam (tidak ada unsur riba di dalamnya)
Daftar Pustaka
Al Khotib, Muhammad ‘Ajaj. 1989. Ushul
Al Hadits Wa Musthalahu. Beirut: Dar al Fikri
Al Zuhaili, Wahbah. 1985. Al Fiqih Al
Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar Al Fikri
American Institute of banking. 1960.
Principle of Bank Operation. New York: AIB
Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah
Dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Sadeli, Hasan. (ed). Ensiklopedia
Indonesia
Zuhri, Muh, Dr. 1996. Riba dalam al-
Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/04/05/4722
Http://Hasanismilr.blogspot.com/2009/06/produk-produk-bank-syari’ah
Http://eprints.sunan-ampel.ac.id/id/eprint/54
Http://binapersatuan.com/blog/perbankan-syariah-peluang-dan-tantangan