Jumat, 07 Juni 2013

PENGAWASAN BIAYA OVERHEAD PADA BANK SYARIAH



BAB I
PENDAHULUAN
Pengawasan merupakan salah satu fungsi dalam manajemen suatu organisasi. Dimana memiliki arti suatu proses mengawasi dan mengevaluasi suatu kegiatan. Suatu Pengawasan dikatakan penting karena tanpa adanya pengawasan yang baik tentunya akan menghasilkan tujuan yang kurang memuaskan, baik bagi organisasinya itu sendiri maupun bagi para pekerjanya. Di dalam suatu organisasi terdapat tipe-tipe pengawasan yang digunakan, seperti pengawasan Pendahuluan (preliminary control), Pengawasan pada saat kerja berlangsung (cocurrent control), Pengawasan Feed Back (feed back control). Di dalam proses pengawasan juga diperlukan tahap-tahap pengawasan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tahap-tahap pengawasan tersebut terdiri dari beberapa macam, yaitu Tahap Penetapan Standar, Tahap Penentuan Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan, Tahap Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan, Tahap Pembandingan Pelaksanaan dengan Standar dan Analisa Penyimpangan dan Tahap Pengambilan Tindakan Koreksi. Suatu Organisasi juga memiliki perancangan proses pengawasan, yang berguna untuk merencanakan secara sistematis dan terstruktur agar proses pengawasan berjalan sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau direncanakan. Untuk menjalankan proses pengawasan tersebut dibutuhkan alat bantu manajerial dikarenakan jika terjadi kesalahan dalam suatu proses dapat langsung diperbaiki. Selain itu, pada alat-alat bantu pengawasan ini dapat menunjang terwujudnya proses pengawasan yang sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan juga meliputi bidang-bidang pengawasan yang menunjang keberhasilan dari suatu tujuan organisasi.
Dalam sebuah perbankan pengawasan overhead sangatlah diperlukan guna untuk memberikan gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam satu periode waktu yang telah berlalu, dan sebagai alat pertanggungjawaban manajemen, dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan. Dalam operasi bank sehari-hari diperlukan biaya untuk mengolah transaksi. Biaya ini berhubungan langsung dengan periode terjadinya sehingga harus dicatat dan diakui sebagai beban periode berjalan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Pengawasan bisa didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis oleh manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.
George R. Tery (2006:395) mengartikan pengawasan sebagai mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tidankan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Robbin (dalam Sugandha, 1999 : 150) menyatakan pengawasan itu merupakan suatu proses aktivitas yang sangat mendasar, sehingga membutuhkan seorang manajer untuk menjalankan tugas dan pekerjaan organisasi.
Kertonegoro (1998 : 163) menyatakan pengawasan itu adalah proses melaui manajer berusaha memperoleh kayakinan bahwa kegiatan yang dilakukan sesuai dengan perencanaannya.
Terry (dalam Sujamto, 1986 : 17) menyatakan Pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana.[1]
Biaya overhead adalah biaya yang tidak terkait secara langsung dengan output. Biaya overhead tidak bisa langsung dialokasikan pada sebuah unit produk, biaya overhead sifatnya tetap.[2]
Pengawasan overhead adalah  tindakan yang dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang tidak terduga dan tidak berkaitan secara langsung dengan output.
Komponen biaya yang diperhitungkan dalm baiyaoverhead ini adalah semua biaya yang dikeluarkan bank dalam kegiatan penghimpunan dana dari berbagai sumber yang menjadi beban rugi laba antara lain adalah:beban personalia, administrasi dan umum, dan beban lainnya.
Misalnya biaya overhead yang dikeluarkan bank selama sebulan adalah sebesar Rp 56,1 milyar sementara jumlah dana yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp1.402 milyar, maka biaya overhead bank adalah Rp 56,1 milyar/ Rp 1.402 milyar = 4,0 %.

   B.     Biaya Variabel dan Biaya Tetap

Biaya variabel (vc) adalah total biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan barang (cost of purchasing the commodity) yang mencakup harga pokok barang (cost of commodity) ditambah biaya-biaya lain seperti biaya ekspedisi dan pajak. Lazimnya biaya variabel ini dinyatakan sebagai harga pasar, dan bukan harga modal dari pabrik.
Sedangkan Biaya tetap (fc) mencakup anggaran gaji pegawai, sewa dan/atau perawatan gedung, biaya ATK dan administrasi kantor, pemasaran (marketing) dan promosi, biaya listrik dan sebagainya. Biaya tetap ini dihitung dalam skala waktu tertentu, lazimnya satu tahun, yang dinyatakan dalam bentuk anggaran belanja perusahaan dalam tahun berjalan.
Langkah lain yang penting dalam pengendalian biaya overhead adalah pemisahan biaya menjadi dua golongan, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel yang sebenarnya kan menaik atau menurun secara proposional dengan volume pekerjaan. Pengendalian dilaksanakan dengan mengendalikan biaya dalam batas-batas yang telah ditetapkan untuk tingkat kegiatan tertentu. Biaya tetap (fixed cost) tidak berubah menurut kegiatan tetapi tinggal tetap selama satu periode waktu yang relative singkat. Pengendalian terhadap jenis biaya ini sebagian besar tergantung pada pimpinan umum/tertinggi yang menetapkan kebijaksanaan sehubungan dengan investasi, tingkat persediaan dan besarnya organisasi. Dapat diamati bahwa kegagalan untuk membedakan kedua jenis biaya tersebut dapat mengakibatkan kegagalan dalam mengendalikan biaya overhead.
   C.    Ciri-ciri biaya overhead
Adapun ciri-ciri biaya overhead yang terjadi di bank antara lain adalah sebagai berikut:
  • Tidak dapat diidentifikasikan secara langsung dengan jasa yang dihasilkan karena biaya yang dikeluarkan untuk semua kegiatan bank.
  • Menjadi biaya pada periode terjadinya.
  • Tidak memberikan manfaat untuk masa yang akan datang.
Contoh biaya overhead : biaya gaji pegawai, tunjangan-tunjangan, biaya penyusutan aktiva tetap, biaya kegiatan kantor dll.[3]
   D.    Tujuan Pengawasan Overhead
Adapun tujuan dari pengawasan overhead adalah sebagai berikut:
a)      Untuk mengetahui sesuai tidaknya realisasi dengan yang direncanakan
b)      Untuk mengetahui besar kecilnya overhead
c)      Untuk mentukan bagian-bagian yang bertanggung jawab
  E.     Unsur-unsur biaya overhead dalam hubungan dengan perubahan volume kegiatan, biaya overhead dapat dibagi menjadi tiga golongan:
  • Biaya overhead tetap yaitu biaya overhead yang tidak berubah dalam volume kegiatan tertentu.
  • Biaya overhead variabel dalah biaya overhead yang berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan.
  • Biaya overhead semi variabel yaitu biaya overhead yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan.[4]
  F.      Cara Memperoleh Pengendalian terhadap Biaya Overhead

Cara pendekatan dasar dalam pengendalian biaya overhead adalah dengan menetapkan standar – standar pelaksanaan dan beroperasi dalam batas – batas standar. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan ini, yaitu: Cara pendekatan pra perencanaan atau preventif, dan cara pendekatan sesudah kejadian (after the fact).
Pra perencanaan (preplanning) dapat dilaksanakan pada banyak jenis biaya overhead menurut bentuk yang agak sama dengan biaya upah langsung. Sebagai contoh, jumlah buruh tidak langsung dapat direncanakan persis serupa dengan buruh langsung. Cara pendekatan ini akan berguna bilaman menyangkut biaya upah dalam jumlah besar untuk pembelian perlengkapan atau bahan perbaikan/pemeliharaan. Mungkin perlu untuk menyelenggarakan catatan mengenai perjanjian – perjanjian pembelian, menurut pertanggungjawaban, untuk perkiraan – perkiraan ini. Sebagaui contoh setiap bon permintaan pembelian, perlu disetujui oleh departemen anggaran. Jika batas anggaran telah tercapai maka tidak ada pembelian lebih lanjut yang dibolehkan kecuali dengan persetujuan dari manajemen yang lebih tinggi. Juga, bilamana bon permintaan barang atau bahan merupakan sumber pembebanan, maka kepala departemen dapat diberitahu secara periodic mengenai biaya per bulan kumulatif, dan dapat diambil langkah – langkah untuk menolak pengeluaran – pengeluaran berikutnya (kecuali untuk keperluan – keperluan mendadak), jika batas anggaran hamper dicapai. Controller akan sanggup mencari jalan dan cara untuk membantu para eksekutif operasi memelihara biaya – biaya dalam batas – batas anggaran dengan menyediakan bagi mereka jenis informasi ini.
Cara pendekatan setelah kejadian adalah pelaporan tendensi – tendensi dan pelaksanaan yang tidak memuaskan. Ini meliputi analisa varians. Di sini masalahnya agak berbeda dengan upah langsung atau bahan oleh karena adanya faktor tingkat kegiatan yang berbeda – beda. Penyimpangan (variances) overhead dapat dikelompokkan menurut klasifikasi yang berikut:
Yang dapat dikendalikan oleh pimpinan departemen.
-          Varians tariff atau pembelanjaan (rate or spending variance)
-          Varians efisiensi (efficiency variance)
Yang menjadi tanggung jawab manajemen tertinggi
-          Varians volume.
Tentunya adalah penting untuk mengetahui sebab – sebab terjadinya varians ini, apabila ingin diambil tindakan perbaikan. Karena ini maka varians yang diakibatkan oleh volume penjualan perlu diisolasikan sari varians yang dapat dikendalikan oleh para kepala departemen.[5]




BAB III
KESIMPULAN

Ø  Pengawasan overhead adalah  tindakan yang dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang tidak terduga dan tidak berkaitan secara langsung dengan output.

Komponen biaya yang diperhitungkan dalm baiyaoverhead ini adalah semua biaya yang dikeluarkan bank dalam kegiatan penghimpunan dana dari berbagai sumber yang menjadi beban rugi laba antara lain adalah:beban personalia, administrasi dan umum, dan beban lainnya.
Ø  Ciri-ciri biaya overhead yang terjadi di bank antara lain :
  • Tidak dapat diidentifikasikan secara langsung dengan jasa yang dihasilkan karena biaya yang dikeluarkan untuk semua kegiatan bank.
  • Menjadi biaya pada periode terjadinya.
  • Tidak memberikan manfaat untuk masa yang akan datang.
   Ø   Tujuan Pengawasan Overhead
·         Untuk mengetahui sesuai tidaknya realisasi dengan yang direncanakan
·         Untuk mengetahui besar kecilnya overhead
·         Untuk mentukan bagian-bagian yang bertanggung jawab
  Ø  Unsur-unsur biaya overhead dalam hubungan dengan perubahan volume kegiatan, biaya overhead dapat dibagi menjadi tiga golongan:
  • Biaya overhead tetap yaitu biaya overhead yang tidak berubah dalam volume kegiatan tertentu.
  • Biaya overhead variabel dalah biaya overhead yang berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan.
  • Biaya overhead semi variabel yaitu biaya overhead yang berubah tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan.[6]
DAFTAR PUSTAKA


Peni R Pramono, Membedah Laporan Keuangan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2007, hal: 26



Kamis, 30 Mei 2013

Akad Musyarakah Atau Persekutuan




PENDAHULUAN

Keberadaan bank syariah saat ini telah menyebar diberbagai daerah di indonesia. Kegiatan usaha Bank syariah berpedoman pada prinsip syariah, hal ini yang membedakannya dengan Bank Konvensional. Adapun prinsip syariah tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perbankan, bahwa perjanjian kerjasama antara pihak bank dengan pihak lain dalam hal penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau usaha lainnya harus sesuai dengan syariah. Di antara bentuk pembayaan kegiatan usaha tersebut adalah pembiayaan dengan penyertaan modal (musyarakah).
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai musyarakah, dari segi pengertian, landasan hukumnya, rukun musyarakah, syaratnya, serta aplikasinya di dunia perbankan maupun di lembaga keuangan syariah.


PEMBAHASAN

1.      Pengertian Syirkah / Musyarakah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika, yasyraku, syarikan artinya menjadi sekutu atau serikat.
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya.[1] Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[2]
Musyarakah merupakan praktek muamalah yang diperbolehkan oleh agama, hal ini didasarkan pada al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama’.
Surat an-Nisa’ ayat 12: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
[274] Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
 “.....Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu....”

Hadis riwayat Abu Hurairah:
انا ثالث شريكين مالم يخن احدهما صاحبه فاذا خانه خرجت من بينهما
“Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam dua orang yang berserikat, selama salah satu dari mereka tidak ada yang berkhianat kepada yang lain. Jika ada yang berkhianat kepada pihak yang lain, maka Aku keluar dari perserikatan di antara mereka.”

2.      Rukun Syirkah
Rukun Syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.  Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:[3]
1. Akad disebut juga shighat
2. Dua pihak yang berakad
Syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta)
3. Obyek akad yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal
Menurut ulama Hanafiah, rukun syirkah hanya ijab dan qabul atau serah terima. Sedangkan orang yang berakad dan obyek akad bukan termasuk rukun, tapi syarat. Dan menurut jumhur ulama, rukun syirkah meliputi shighat (lafaz) ijab dan qabul, kedua orang yang berakad, dan obyek akad.

3.      Syarat Syirkah
Syarat Syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakan syirkah. Jika syarat tidak terwujud, maka akad syirkah itu batal.
Syarat syirkah secara umum ada 3 (tiga) yaitu:[4]
a.     Kerjasama tersebut merupakan transaksi yang boleh diwakilkan.
b.    Persentase pembagian keuntungan bagi masing-masing pihak ditentukan ketika akad.
c.     Keuntungan itu diambilkan dari keuntungan modal perserikatan.  
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
a)         Obyek akadnya berupa tasharruf
yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
b)        Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para mitra usaha.

4.      Jenis-Jenis Musyarakah
Secara garis besar syirkah ada dua macam, yakni:[5]
1.    Syirkah Amlak, yaitu bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih dalam memiliki harta bersama-sama tanpa melalui atau didahului akad syirkah. Syirkah bentuk ini juga ada dua bentuk, yaitu:
a.  Syikah Ikhtiyariah, yaitu perserikatan yang dilandasi pilihan orang yang berserikat. Misalnya dua orang diberi harta wasiat dari seseorang, dia bisa menolak atau menerima harta itu.
b.   Syirkah Jabariyah, yaitu perserikatan yang muncul secara paksa, bukan karena kehendak orang yang berserikat. Misalnya dua orang atau lebih yang terpaksa menerima harta waris sebagi milik bersama.
2.    Syirkah ‘Uqud, yaitu akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Syikah ‘uqud juga ada beberapa macam yaitu:
a.    Syirkah ‘inan/syirkah amwal.
                   Para fuqaha’ sepakat bahwa syirkah ini diperbolehkan syari’ah.

b.    Syirkah mufawadhah.
Menurut ulama’ Hanafiyah dan Zaidiyah, syirkah bentuk ini boleh karena syirkah seperti ini telah umum di masyarakat dan tidak ada ulama’ yang mengingkarinya. Sedangkan ulama’ Malikiyah tidak membolehkan syirkah mufawadhah seperti yang dipahami ulama’ Hanafiyah, namun apabila masing-masing pihak dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja tanpa harus minta izin kepada anggota yang lain, maka boleh. Demikian juga dengan ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah tidak membolehkan syirkah yang dipahami ulama’ Hanafiyah, karena ketentuan tersebut sulit diwujudkan, dan keduanya membolehkan syirkah seperti yang dipahami ulama’ Malikiyah.

c.    Syirkah wujuh.
                   Ulama’ Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah berpendapat boleh. Namun ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, Dhahiriyah dan Syiah Imamiyah menyatakan tidak sah dan tidak boleh. Alasan mereka bahwa obyek syirkah adalah modal dan kerja, sedangkan dalam syirkah wujuh obyek syirkahnya tidak jelas.
d.    Syirkah abdan/syirkah a’mal.
                   Ulama’ Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah menyatakan hukumnya boleh, karena tujuan utama kerjasama ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Dan menurut ulama’ Syafi’iyah, Syi’ah Imamiyah dan Zufar bin Huzail (pakar fiqh Hanafi) berpendapat hukumnya tidak sah, karena obyek syirkah adalah harta/modal bukan kerja.

e.    Syirkah mudharabah.
                   Jumhur ulama’ menyatakan bahwa mudharabah tidak termasuk akad syirkah. Hanya ulama’ Hanabilah yang menganggapnya sebagai syirkah.
·         Adapun syarat khusus masing-masing syirkah yaitu:[6]
(1)     Syirkah ‘inan/amwal: modal tersebut jelas dan tunai, bukan berbentuk utang dan bukan berbentuk barang; dan menurut Ibnu Rusyd kedua harta itu lebih baik dan lebih sempurna disatukan, karena semua pihak punya hak dan kewajiban yang sama terhadap harta itu sehingga tidak memunculkan kecurigaan.
(2)     Syirkah mufawwadhah: kedua pihak cakap dijadikan wakil; modal, kerja, keuntungan untuk semua pihak harus sama; semua pihak berhak menangani seluruh obyek perserikatan; lafadh yang digunakan akad adalah akad mufawadhah. Apabila syarat-syarat tersebut ada yang tidak terpenuhi maka akadnya berubah menjadi syirkah ‘inan.
(3)     Syirkah wujuh dan syirkah abdan/a’mal: apabila perserikatan itu berbentuk ‘inan maka syaratnya sama seperti syirkah ‘inan dan jika berbentuk mufawadhah maka syaratnya sama seperti syirkah mufawadhah.
(4)     Syirkah mudharabah, karena jumhur ulama’ menyatakan mudharabah adalah akad tersendiri, maka mempunyai rukun dan syarat tersendiri layaknya akad mudharabah.

5.      Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan Syariah
            Secara umum, bank syariah memiliki dua aktivitas:[7]
Pertama, aktivitas perdagangan (a’mal tijariyah) yang diklaim sebagai pengganti aktivitas Ribawi. Ini dijalankan dengan melalui berbagai macam akadnya, seperti: mudharabah, murabahah (pembelian barang lewat lembaga) dan musyarakah (patungan) dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan dan lain-lain.
            Kedua, aktivitas jasa perbankan dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misal jasa transfer uang dan pertukaran mata uang,
            Menurut Siddik al-Jawi, Dosen STEI Hamfara Jogja, aktivitas        yang pertama memiliki subhat pada realitasnya, karena terdapat          beberapa penyimpangan yang terjadi : Pertama, secara teori, syirkahmudharabah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapat keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan. Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian.. Kedua, kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola pikir dan budaya kerja non syariah.
            Adapun aktivitas yang kedua, merupakan aktivitas yang dibolehkan syariah, asal dijalankan sesuai syarat dan rukunnya.




KESIMPULAN

·         Syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
·         Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad disebut juga shighat
2. Dua pihak yang berakad
3. Obyek akad yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal
·         Syarat syirkah secara umum ada 3 (tiga) yaitu:
a. Kerjasama tersebut merupakan transaksi yang boleh diwakilkan.
b. Persentase pembagian keuntungan bagi masing-masing pihak ditentukan ketika akad.
c. Keuntungan itu diambilkan dari keuntungan modal perserikatan.           
·         Jenis-Jenis Musyarakah
1.  Syirkah Amlak
2.  Syirkah Uqud
·         Syirkah dalam Konteks Lembaga Keuangan Syariah
Secara teori, syirkah mudharabah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) sesuai kaidah fikih, “Al-ghurmu bi al-ghunmi (Risiko kerugian diimbangi hak mendapat keuntungan).” Namun pada faktanya, tidak pernah satu kali pun ada bank syariah yang mengumumkan dirinya rugi. Ini menunjukkan suatu keanehan. Karena pada teori, harusnya bank syariah bisa saja mengalami kerugian, karena kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvesional (berbasis riba) yang terindikasi masih memiliki pola pikir dan budaya kerja non syariah.




DAFTAR PUSTAKA

Abd. Shamad, “Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Prenada Media Group, Jakarta, 2010

Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Bina Iman, Surabaya, 2003

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, pen: Abu Usamah Fatkhur Rahman, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007


[1]Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007
[2]Ibid
[3]Hendi Suhendi. 2002. Fiqh Muamalah. Grafindo: Jakarta
[4]Ibid
[5]Abd. Shamad, “Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Prenada Media Group, Jakarta, 2010

[6]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, pen: Abu Usamah Fatkhur Rahman, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007

[7]Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Ahyar, Bina Iman, Surabaya, 2003